Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menentang gerakan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS)—yang kemudian menjadi Islamic State (IS)—bukan berarti menentang Islam. Yang perlu ditentang adalah kekerasan yang mereka praktekkan untuk menjalankan paham yang mereka yakini. Karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya lebih aktif mencegah keterlibatan warga negaranya dalam gerakan ini. Membiarkannya berkembang di negeri ini sama saja dengan memupuk terorisme baru di masa mendatang.
Alasan untuk berhati-hati sudah tampak jelas. Pada 29 Juni lalu, ISIS mendeklarasikan kekhalifahan Islam di sini. Sejumlah kelompok militan di Indonesia menyatakan sumpah setia (baiat) kepada Abu Bakar al-Baghdadi, pemimpin IS. Di antaranya Abu Bakar Ba'asyir dan sejumlah narapidana terorisme. Tampaknya, Al-Baghdadi dipercaya bisa menggantikan Al-Qaidah dan Usamah bin Ladin. Bahkan Al-Baghdadi diyakini lebih "tinggi" posisinya daripada Bin Ladin karena dianggap sebagai khalifah, pemimpin tertinggi umat Islam yang harus ditaati.
Kita tidak bisa menghukum seseorang karena pemikiran, paham, atau keyakinannya. Tapi kita mesti waspada karena baiat merupakan awal dari pengkristalan radikalisme, bahkan terorisme. Dengan bersumpah setia kepada IS dan "khalifah" Al-Baghdadi, mereka pada dasarnya meyakini Indonesia sebagai daar al-harb, negara kafir yang wajib diperangi. Dalam paham khilafah, pemerintah lain harus diperangi sampai pemerintah itu tunduk kepada khalifah.
Hingga saat ini, aksi teror IS di Indonesia memang belum ada. IS masih berkonsentrasi untuk mengukuhkan keberadaannya di Irak dan Suriah. Yang mengkhawatirkan, disinyalir ada 50 warga negara Indonesia yang berbaiat kepada IS telah pergi ke Irak dan Suriah untuk berperang. Beberapa di antara mereka, seperti Abdul Rauf, terpidana Bom Bali, tewas terbunuh.
Keterlibatan warga Indonesia itu melanggar aturan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tegas melarang keterlibatan warga Indonesia dalam makar dengan maksud melepaskan wilayah suatu negara sahabat. Keikutsertaan dalam tentara asing juga bisa membuat mereka kehilangan kewarganegaraan, sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
Mereka yang berangkat ke Irak dan Suriah ini sangat mungkin menjadi penyebar radikalisme dan terorisme di Indonesia. Kita pernah punya pengalaman yang sama soal "berguru" di luar negeri itu, misalnya, dengan alumnus perang Afganistan. Salah satunya Umar Patek, yang kemudian menjadi otak Bom Bali I pada 2002.
Pemerintah seharusnya bertindak lebih aktif mengawasi mereka, termasuk sejumlah narapidana terorisme yang terlihat sudah ambil bagian. Demonstrasi pendukung ISIS dengan mengibarkan bendera hitam sesungguhnya tidak boleh dibiarkan. Pemerintah mesti bergerak cepat, karena penyebaran paham ini lewat media sosial bukan main gencarnya.
Tindakan pencegahan bisa dilakukan, umpamanya, lewat jalur pendidikan. Perlu ada penyadaran pemahaman keagamaan yang benar, tidak radikal, di kalangan anak muda. Ini penting karena bibit-bibit radikalisme sudah mulai "diselundupkan" kepada siswa atau mahasiswa. Deklarasi dukungan kepada ISIS, sebagai contoh, dilakukan di sebuah ruangan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah awal bulan ini—tapi pihak kampus menyatakan penyelenggara hanya menyewa tempat itu dan membantah ada mahasiswanya yang terlibat.
Pemerintah mesti segera menetapkan ISIS sebagai organisasi teroris terlarang. Dengan begitu, aparat hukum bisa menindak mereka yang terlibat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo