Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GONJANG-GANJING penolakan kenaikan harga gas bumi untuk industri semestinya tidak terjadi jika pemerintah serius mengurus komoditas ini. Buruknya tata kelola gas selama ini membuat barang tambang yang cadangannya berlimpah itu gagal menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekisruhan ini bermula dari rencana kenaikan harga gas bumi industri non-harga gas bumi tertentu yang bakal diberlakukan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mulai 1 Oktober mendatang. Rencananya, kenaikan harga gas bumi bervariasi, dari semula terendah US$ 9,16 menjadi tertinggi US$ 12,31 per MMBTU sesuai dengan kategori pelanggan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana ini memicu protes keras kalangan pengusaha. Penyebabnya, kenaikan harga dinilai tidak tepat karena dalam sepuluh tahun terakhir tidak ada pembangunan infrastruktur, seperti pemipaan yang memudahkan industri mengakses sumber energi itu. Selain itu, pasokan gas yang tak stabil seperti di Jawa Timur menyulitkan proses kerja industri.
Penaikan harga sepihak yang besarannya berbeda-beda dan perubahan harga sewaktu-waktu juga dikeluhkan pelaku industri. Mereka menyatakan rencana itu bisa memicu penurunan daya saing industri dan inflasi karena kenaikan harga di masyarakat. Selain itu, pelaku industri mengaku tidak bisa menjalankan rencana bisnisnya dengan optimal. Belakangan, PGN membatalkan rencana kenaikan harga tersebut.
Dengan cadangan gas alam yang dimiliki Indonesia sebanyak 41,62 triliun kaki kubik persegi (TSCF), kebutuhan gas domestik semestinya mudah dipenuhi. Indonesia juga diperhitungkan karena ikut menentukan jumlah pasokan dan pergerakan harga gas dunia.
Namun persoalan kekurangan pasokan dan fluktuasi harga gas terus saja menjadi masalah dan memukul para pelaku industri. Tak hanya menghambat upaya mewujudkan kemandirian energi nasional, sengkarut pasokan gas menyebabkan sebagian pengusaha kembali menggunakan energi fosil yang kotor dan sumber polusi.
Pangkal soal kekisruhan ini adalah banyaknya sumur gas yang sudah tua sehingga produksinya memerlukan teknologi baru dengan konsekuensi biaya tinggi. Selain itu, pemerintah kadung terikat kontrak ekspor untuk ladang-ladang gas besar yang digarap kontraktor asing. Padahal pemerintah bisa memberlakukan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) jika pasokan surut.
Penerapan aturan DMO gas bisa segera diberlakukan karena itu sepenuhnya kewenangan pemerintah. Apalagi kebijakan serupa sudah berlaku untuk komoditas minyak kelapa sawit serta batu bara, dan relatif efektif meredam gejolak harga akibat minimnya pasokan dalam negeri.
Baca liputannya:
- Di Balik Pembatalan Kenaikan Harga Gas Industri PGN
- Lobi Industri Menahan Harga Gas
- Penjelasan PGN Soal Pembatasan Kenaikan Harga Gas Industri
Dengan kebijakan DMO yang terukur, masalah kekurangan pasokan gas dalam negeri bisa teratasi. Ketersediaan pasokan gas bumi bisa makin mempercepat program penghiliran yang selama ini masih jalan di tempat.
Keseriusan pemerintah menata ulang kebijakan gas bumi menjadi kunci. Tanpa itu, persoalan pasokan gas akan terus berulang dan harapan menuntaskan program transisi energi pun tinggal harapan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ironi Negeri Lumbung Gas"