Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRONI kebijakan lingkungan itu terlihat di pesisir Moronopo, Halmahera Timur, Maluku Utara. Ketika Presiden Joko Widodo menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk meningkatkan penghijauan, banjir lumpur merendam kawasan mangrove di situ. Penyebabnya: aktivitas penambangan bijih nikel oleh perusahaan negara, PT Aneka Tambang (Antam).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedimentasi lumpur timbul karena subkontraktor PT Antam menambang secara serampangan. Lumpur meluap dan menjebol tanggul, lalu mengalir sampai ke laut. Hingga kini, pemandangan di Tanjung Moronopo terlihat memilukan. Luapan lumpur menutup pepohonan bakau yang ditanam belasan tahun lalu dan merusak terumbu karang. Laut di sekitar Moronopo menguning. Nelayan pun kehilangan mata pencarian karena tak ada lagi ikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses pemulihan berjalan lambat. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara baru sebatas mengevaluasi dampak lumpur. Belum ada pihak yang disebut bertanggung jawab. Hingga kini, penambangan terus berjalan. Sementara itu, dampak sedimentasi kian merembet kawasan mangrove lain di sepanjang pesisir Halmahera Timur.
Pemerintah sebenarnya bisa mengantisipasi tragedi ini sejak dulu. Peristiwa serupa pernah terjadi pada 2012 di Desa Mabapura, kawasan yang berdekatan dengan Tanjung Moronopo. Limbah lumpur tambang bijih nikel PT Antam juga meluap dan merusak pesisir desa. Namun tak terlihat upaya pencegahan agar peristiwa yang sama tak berulang.
Protes masyarakat pun hanya dianggap angin lalu. Padahal penelitian Institut Pertanian Bogor pada 2016 menunjukkan kandungan nikel di perairan Halmahera Timur sudah mendekati nilai ambang batas dan berpengaruh terhadap ekosistem laut. Tapi pemerintah lagi-lagi menutup mata.
Ada empat lembaga negara yang seharusnya bertanggung jawab menjaga hutan mangrove. Mereka adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, serta pemerintah provinsi setempat. Namun koordinasi mereka belum terlihat.
Peristiwa di Moronopo akan memperparah berkurangnya lahan bakau di Indonesia, yang mencapai puluhan ribu hektare setiap tahun. Kementerian Lingkungan Hidup mencatat luas lahan mangrove pada 2015 sekitar 3,49 juta hektare atau 19 persen dari total wilayah bakau dunia. Tapi sekitar 1,82 juta hektare sedang dalam kondisi kritis.
Yayasan Konservasi Mangrove Indonesia bahkan memperkirakan kawasan bakau pada Mei 2020 sudah berkurang menjadi 3,2 juta hektare. Laju kerusakan ini tak sebanding dengan kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup merehabilitasi kawasan mangrove yang hanya ratusan hektare setiap tahun.
Kerusakan ini harus segera dihentikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan ekosistem mangrove merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia karena menyumbang Rp 40 triliun per tahun di sektor budi daya perikanan. Kawasan mangrove juga mampu menyimpan 3 gigaton karbon layaknya hutan. Artinya, keberadaan mangrove sangat penting untuk mencegah efek rumah kaca.
Itu sebabnya penting menagih janji Presiden Joko Widodo di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate yang dihadiri para pemimpin dunia secara virtual pada 22 April 2021. Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terluas, Indonesia, menurut Jokowi, serius mengendalikan perubahan iklim dan mewujudkan zero emission pada 2050. Target tersebut hanya menjadi mimpi jika berkaca pada program pemerintah saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo