Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH sepatutnya menolak usul Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang ingin memotong gaji aparatur negara hingga pekerja swasta sebesar 2,5 persen untuk pembayaran zakat. Zakat, sebagaimana salat dan puasa, adalah ranah privat yang tak boleh dicampuri negara. Biarlah muzaki atau wajib zakat memilih sendiri cara dan tempat zakatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rendahnya penerimaan zakat bukan alasan untuk menjadikan kewajiban muslim yang mampu itu sebagai hukum positif. Baznas menginginkan aturan tersebut berbentuk peraturan presiden. Jika kemauan Baznas dikabulkan, potongan gaji pegawai negeri hingga swasta akan dikelola langsung oleh lembaga zakat pelat merah itu. Monopoli pengelolaan zakat ini sebenarnya bertentangan dengan putusan uji materi Undang-Undang Pengelolaan Zakat di Mahkamah Konstitusi pada 2013, yang menyatakan amil zakat perseorangan pun bisa mengelola zakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baznas selalu menyebutkan bahwa potensi penerimaan zakat bisa mencapai Rp 200 triliun. Kenyataannya, pengumpulannya oleh Baznas pada 2019 baru sekitar Rp 10 triliun. Baznas mempersoalkan pembayaran zakat masyarakat yang tidak melalui organisasi pengumpul zakat resmi. Gara-gara itu, menurut Baznas, angka penerimaan zakat yang tercatat jauh di bawah potensinya. Kesalahan Baznas: menganggap selisih itu sebagai suatu kerugian. Padahal yang terpenting dalam berzakat adalah kemudahan muzaki menunaikan zakat dan harta-benda yang terhimpun tersalurkan kepada mustahik—orang yang berhak menerima zakat.
Untuk meningkatkan penerimaan zakat, Baznas—juga lembaga amil zakat lain—sebenarnya sudah menempuh cara yang tepat dengan melakukan digitalisasi zakat. Dengan menggandeng sejumlah perusahaan dompet digital, Baznas menyediakan kemudahan pembayaran. Zakat juga bisa dilakukan lewat transfer bank. Inovasi layanan seperti ini bisa menggugah keinginan masyarakat untuk berderma. Apalagi jika Baznas transparan dan akuntabel dalam mengelola dan menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat.
Wajar jika kita sangsi akan cara negara menghimpun dana dari publik. Dalam hal pajak, pengelolaannya tak kunjung membaik. Rasio pajak kita malah turun ke kisaran 8 persen, terendah dalam beberapa tahun terakhir. Rasio ini membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara miskin. Skandal suap pemeriksa pajak yang belakangan ini terungkap memperparah persoalan. Singkatnya, reformasi perpajakan yang digembar-gemborkan jauh panggang dari api. Berkaca pada masalah yang mendera pajak, negara tak perlu mengurusi zakat terlalu jauh.
Negara kadung menjadikan Baznas sebagai regulator, operator, sekaligus koordinator zakat nasional. Bertumpuknya peran membuat Baznas rawan konflik kepentingan. Bagaimana Baznas bisa menjadi regulator yang baik jika mereka juga menjalankan fungsi operator? Padahal, agar berkembang, dunia filantropi membutuhkan kepercayaan. Jangkar kepercayaan tersebut adalah sebuah regulator yang independen.
Lobi-lobi Baznas ke Istana untuk mengegolkan peraturan presiden tentang pemotongan gaji untuk zakat semestinya tidak dilakukan. Selain mengundang negara untuk campur tangan dalam urusan ibadah, manuver itu akan menambah ruwet persoalan. Jika ingin mengembangkan zakat, pemerintah mending berfokus memperbaiki regulasi agar muncul lembaga regulator murni, ketimbang mengabulkan keinginan Baznas mewajibkan zakat bagi aparatur negara hingga pekerja swasta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo