Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah lebih dari satu dasawarsa, pengadilan menggunakan pasal anti-SLAPP.
Diperlukan penguatan lewat undang-undang baru atau aturan turunan.
TERPUJILAH para hakim yang membebaskan enam ketua rukun tetangga pejuang lingkungan di Kelurahan Kenanga, Provinsi Bangka Belitung, pada Mei lalu. Tak hanya memberikan keadilan bagi para terdakwa, putusan itu juga membawa angin segar bagi aktivis lingkungan yang selama ini rawan dikriminalisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam ketua rukun tetangga itu diajukan ke pengadilan lantaran memprotes bau busuk yang menguar dari pabrik tapioka milik PT Bangka Asindo Agri di Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka. Mereka divonis 1-2 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Sungailiat. Di tingkat banding, hakim Pengadilan Tinggi Bangka Belitung menyatakan protes pemimpin wilayah terkecil itu bukan tindakan pidana. Hakim menggunakan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk membebaskan para terdakwa. Isinya, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan hakim banding itu sangat tepat. Setelah lebih dari satu dasawarsa undang-undang itu berlaku, akhirnya ada penegak hukum yang menerapkan pasal penting tersebut. Pasal 66 mengadopsi konsep yang secara internasional dikenal sebagai anti-strategic lawsuit against public participation atau anti-SLAPP. Tujuannya melindungi korban atau pelapor kasus lingkungan hidup dari pembalasan terlapor. Andai polisi dan jaksa menggunakan pasal itu, para ketua RT tersebut tentu tak perlu sampai berurusan dengan pengadilan. Meski begitu, sikap jaksa yang tak mengajukan permohonan kasasi sudah tepat.
Penggunaan pasal anti-SLAPP mutlak diperlukan guna menjamin hak asasi warga negara untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat. Apalagi, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, jumlah aktivis lingkungan yang dikriminalisasi kian meningkat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat, pada periode pertama pemerintah Jokowi saja ada 146 aktivis lingkungan yang diseret ke meja hijau atau rata-rata hampir 30 orang setiap tahun.
Tingginya angka tersebut menunjukkan negara telah membiarkan, atau ikut mendukung, kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Pada masa pemerintahan Jokowi, keberpihakan negara terhadap korporasi yang terlalu besar makin terang-benderang dan berimbas pada terpojoknya aktivis lingkungan. Alih-alih mengusut dugaan kejahatan yang dilakukan korporasi, penegak hukum malah ikut membungkam aktivis lingkungan. Padahal para aktivis itu punya peran besar mengingatkan dan membangun kesadaran soal tanggung jawab dalam menjaga alam agar tidak rusak oleh aktivitas manusia, korporasi, dan negara.
Pemerintah juga perlu memperkuat peraturan hukum anti-SLAPP. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah bisa membuat undang-undang baru yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap partisipasi publik dalam memberikan masukan atau kritik terhadap berbagai persoalan di negeri ini. Tak hanya melindungi aktivis lingkungan, aturan anti-SLAPP juga bisa digunakan untuk melindungi pegiat hak asasi manusia.
Alternatif lain, pemerintah bisa menerbitkan peraturan turunan dari Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pertengahan tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana membuat aturan anti-SLAPP, tapi hingga kini belum terealisasi. Aturan turunan seperti peraturan pemerintah akan menunjukkan komitmen dan keberpihakan negara melindungi aktivis lingkungan yang suaranya diperlukan untuk memperbaiki keadaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo