Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia akan mengekspor listrik bersih ke Singapura.
Sempat terjadi tarik-ulur dan perbedaan sikap antarmenteri dalam keputusan ekspor listrik bersih dari Batam.
Ada potensi benturan kepentingan Luhut Pandjaitan dalam tarik-ulur ekspor listrik bersih.
RENCANA pemerintah membuka keran ekspor listrik ke Singapura merupakan langkah tepat yang harus didukung. Namun kebijakan tersebut harus sepenuhnya memberi manfaat kepada negara, dan lepas dari konflik kepentingan para pejabat pembuatan keputusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah perusahaan Indonesia sudah mendapat restu dari Otoritas Pasar Energi Singapura pada 2021 untuk menyiapkan pasokan setrum pembangkit listrik tenaga surya di Batam, Kepulauan Riau. Rencana itu berjalan mulus karena didukung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif serta Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap berbeda ditunjukkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Dia mengecam rencana ekspor itu karena masih adanya tarik-ulur pengaturan regulasi di dalam negeri.
Langkah Luhut ini tidak mengejutkan. Sebab, sejak awal 2022 dia bersama Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sudah menolak rencana ekspor listrik dari pembangkit tenaga surya (PLTS). Perbedaan sikap di antara menteri Presiden Joko Widodo itu berbuntut embargo rencana penjualan listrik ke Singapura.
Penolakan ini tak berdasar karena, menurut aturan, Luhut dan Bahlil tidak memiliki kewenangan apa pun dalam rencana ekspor listrik. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2012 tentang Jual Beli Tenaga Listrik Lintas Negara menegaskan bahwa listrik bisa dijual ke luar negeri sepanjang memperoleh izin dari Menteri ESDM dengan pertimbangan kebutuhan tenaga listrik setempat dan wilayah sekitarnya telah terpenuhi.
Belakangan, Luhut dan Bahlil baru membolehkan rencana ekspor setrum setelah ada kesepakatan lanjutan Indonesia-Singapura pada Maret lalu. Namun mereka memberikan syarat: ekspor bisa dilakukan asalkan menggunakan panel surya buatan Indonesia.
Sekilas sikap Luhut itu semata bertujuan menjaga kepentingan nasional agar Indonesia makin mendapat banyak manfaat dari ekspor listrik. Namun belakangan muncul kecurigaan ada potensi benturan kepentingan di balik penolakan tersebut.
Sebab, TBS Energi Utama turut menjadi anggota konsorsium Inspira. Konsorsium ini yang akan menggaet produsen panel surya global untuk membuat panel di Indonesia, yang kelak harus digunakan oleh siapa pun yang ingin mengekspor setrum ke Singapura.
Luhut adalah pendiri TBS. Luhut mengaku telah menjual sebagian sahamnya pada 2016. Dia masih tercatat menguasai 9 persen saham di perusahaan tersebut dan menyisakan keponakannya, Pandu Sjahrir, sebagai wakil direktur utama.
Kejadian berulang terjadinya konflik kepentingan dalam kebijakan pemerintah dengan bisnis yang terafiliasi dengan perusahaan Luhut sudah sangat mengkhawatirkan. Dari regulasi pemberian insentif mobil listrik, tambang batu bara, hingga bisnis tes reaksi berantai polimerase (PCR) pada masa pandemi Covid-19. Semua terjadi secara benderang, dan seperti mendapat “legitimasi” negara.
Baca liputannya:
- Siapa Saja di Balik Ekspor Listrik ke Singapura
- Mengapa Para Taipan Masuk Bisnis PLTS
- Solusi Krisis Listrik di Batam, Lokasi Investasi. Apa Saja?
Padahal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Penanganan Konflik Kepentingan tegas melarang semua itu terjadi.
Ada ancaman pemecatan bagi pejabat yang mengambil keputusan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan. Tapi siapa yang berani memecat pejabat tinggi setingkat menteri selain presiden?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo