Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Barat selalu membikin kita risau.
Adakah entitas Barat dan Timur yang sesungguhnya?
Barat dan Timur ada sekaligus tidak ada.
PADA 1984 esais itu menulis: "Barat selalu membikin kita risau." Sesuatu yang tak jelas batasnya, sebuah kekuatan yang meletakkan kita di kakinya, "Dan sekarang tetap jadi tempat kita becermin.” Seorang pemuda mengingat imaji esai itu hingga kini, 40 tahun kemudian. Ia mengutip luar kepala, nyaris verbatim: "Barat: cermin. Kita mematut-matut diri di depannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esais itu Goenawan Mohamad. Pemuda itu suami saya. Kata-kata yang kuat melekat hingga akhir hayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1986 esais itu menulis lagi. Katanya, mengutip seorang penulis: "Sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat." Penulis itu adalah S. Takdir Alisjahbana, yang di tahun 1930-an mengobarkan semangat mengejar kemajuan, mengejar Barat.
Masa Takdir itu hampir seratus tahun silam. Tapi pertanyaan yang sama terus berulang. Adakah entitas Barat dan Timur yang sesungguhnya? Pertanyaan yang membuat esais itu risau. Terutama, karena dalam politik dan moralitas, "Barat" atau "kebarat-baratan" masih digunakan sebagai stigma, sementara dalam nyaris segala hal lain—ilmu pengetahuan, misalnya—"Barat" menjadi acuan sampai-sampai mengabaikan lokalitas.
Tapi mengatakan "Barat" (atau Timur) konstruksi belaka dan, maka dari itu tak ada, juga tidak bertanggung jawab. Sebab, suatu konstruksi juga suatu yang ada. Yang bisa kita katakan adalah Barat atau Timur tak ada sebagai esensi. Tapi keduanya ada sebagai, katakanlah, "fakta linguistik”. Mereka ada sebagai kata, dan orang menggunakannya. Masalahnya, ada penggunaan yang bertanggung jawab, ada yang tidak.
Sebagai contoh acak, orientalis seperti Denys Lombard (tentu banyak yang lain) menghasilkan kajian penting dan klasik, seperti Nusa Jawa: Silang Budaya, di atas fakta linguistik ini. Tanpa membayangkan adanya “Barat”, kajian berharganya atas “proses pembaratan” di Jawa tak mungkin dilakukan.
“Fakta linguistik” bukan istilah baku. Yang saya maksud adalah kita bisa melihat kata sebagaimana seorang linguis melihatnya—suatu kesadaran bahwa kata-kata tak pernah punya batas yang tetap. “Barat” bagi Takdir adalah kemajuan. “Barat” bagi Lombard adalah sistem-sistem modern, teknologi, termasuk kedokteran. Lombard, yang lahir 30 tahun setelah Takdir, jika saya tak salah, tidak menyebutnya “kemajuan”.
Yang penting diingat, proses pembaratan itu pula yang melahirkan kesadaran kebangsaan. Terutama melalui pendidikan dokter Jawa yang menghasilkan dokter Wahidin, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, dll. Dari kepentingan pragmatis kolonial tentang kesehatan masyarakat, anti-kolonialisme tumbuh.
Sebuah buku yang terjemahannya akan terbit tahun ini, Peste & Cholera (Wabah & Kolera), karya penulis Prancis, Patrick Deville, bercerita dari arah lain. Kitab itu bercerita tentang dokter Prancis, Alexander Yersin, yang tumbuh dalam bimbingan Louis Pasteur. Pasteur, kita tahu, seorang saintis yang namanya melekat pada kata “pasteurisasi” dan menjadi nama jalan penting di Bandung. Di sana dulu terletak Institut Pasteur, yang kemudian menjadi PN Pasteur, dan kini gedung milik PT Bio Farma.
Yersin bukan dokter Jawa. Dari kacamata kita, ia berada di pusat dunia—di pusat persaingan dua institusi kedokteran yang mewakili kubu yang bertarung dalam Perang Dunia. Institut Koch Jerman vs Institut Pasteur Prancis, saling bersaing dalam menemukan penyebab dan obat wabah yang merebak di masa itu. Ada pula ilmuwan Jepang, Kitasato Shibasaburō, yang berafiliasi dengan Institut Koch dan bekerja dengan fasilitas lengkap (Jepang beraksis dengan Jerman). Di Indochina (Vietnam ketika dijajah Prancis), Yersin justru menemukan baksil penyebab sampar bubo di luar laboratorium. (Waktu kecil, saya menghafal sampar ini sebagai penyakit yang menyebabkan ketiak bengkak.) Ia juga menemukan banyak hal lain. Bahkan resep kola. Tapi ia tak pernah mendaftarkan paten.
Yersin bukan dokter Jawa dari STOVIA. Usianya hanya sekitar sepuluh tahun lebih tua dari Wahidin. Mereka menghirup hawa perang dunia yang sama. Jika Yersin berkarya di Hindia Belanda, barangkali Wahidin akan menghormatinya seperti banyak orang Vietnam menghormatinya hingga sekarang.
Tapi bukan itu yang penting. Yang mustahak: dalam dunia kedokteran di STOVIA dan di Pasteur, dinamika terjadi, dan itu ada di luar program. Barat dan Timur ada sekaligus tidak ada. Ada sebagai fakta bahasa. Tak ada sebagai esensi. Di antara fakta dan esensi itu ada gerak.
Dari pengembaraannya, Yersin menuliskan pepatah Rimbaud dalam sebuah surat. Katanya, “ce n'est pas une vie que de ne pas bouger".
Bukan hiduplah jika tak terus bergerak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo