Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin karena ia bisa tampil dalam wajah siapa saja. Bila “filosofi” berarti cinta kepada kearifan, philosophia, bisa diasumsikan hampir tiap orang berfilsafat.
Tapi tentu saja tak hanya itu. Bila kita masuk ke perpustakaan yang bagus, akan ada deretan buku di bawah klasifikasi “filsafat”. Umumnya tebal—dan tanpa gambar—dan sulit dibaca. Jika sejenak kita intip, kita akan tahu bahwa filsafat bukan hanya ekspresi rasa cinta kepada kearifan, tapi juga sebuah pertanggungjawaban. Dengan filsafat, orang mempertanggungjawabkan kepada orang lain dan diri sendiri, dan juga menjelaskan, apa itu kearifan, apa itu kebenaran, dan bagaimana kita sanggup mengetahuinya, melalui apa, dan mengapa semua itu begitu penting.
Muskil, tentu. Saya coba baca buku Deleuze dan Guatarri, “apa itu filsafat”, Qu’est-ce que la philosophie?, dalam versi Inggris, What is Philosophy?. Setelah mencernanya selama beberapa bulan, hanya 25 persen yang saya kira saya pahami. Mungkin itu sebabnya seorang filosof disegani—dengan akibat yang bisa lucu: orang bisa disebut filosof hanya karena menyebut nama pemikir yang keren dan mengucapkan kalimat yang sulit dimengerti.
Apa boleh buat: filsafat tak bisa gampangan; persoalan “cinta” dan “kebenaran” memang tak mudah.
Tapi sesungguhnya filsafat digeluti siapa saja yang bertanya tentang kehidupan, juga mereka yang tak mengikuti kuliah di akademi. Filsafat bukan sebuah bidang keahlian khusus. Tak akan ada “pakar” filsafat—tapi benar, ia sebuah penjelajahan yang tak mudah.
Maka ada masanya ketika filsafat takabur, jadi metafisika yang mengklaim diri “ibu semua ilmu”. Dan ada masanya pula ketika orang merasa bangga bila disebut “filosof”—sekian ribu tahun setelah sebutan itu diperkenalkan dan philosophia jadi “kegiatan” manusia.
“Kegiatan” itu tentu tidak hanya dikenal orang Yunani Kuno. Tapi ia mendapatkan milieu, lingkungan dan suasana yang pas, di bagian bumi itu. Seperti dikatakan Deleuze dan Guatarri, kota-kota Yunani adalah tempat persaingan dan pertemanan merupakan hubungan sosial, membentuk satu plan d’immanence—tak ada suara dari langit, tak ada otoritas selain yang terbit dari dataran itu juga—di mana pertanyaan dan pendapat bebas tak terhambat.
Mungkin itu sebabnya Plato bisa menuliskan dialog Sokrates dengan menarik: sebuah “dramatisasi”, benturan-benturan opini yang dihidupkan. Di sana pendapat berdiri setara dengan pendapat lain, bergerak, berubah, memasuki adegan baru, dalam dialektika, dalam retorika.
Kata-kata pun jadi penting. Plato mau tak mau menghadapi masa ketika retorika jadi tanda keunggulan. Ia masygul, dan menurut dia Sokrates juga, karena melihat orang-orang pintar melontarkan kata-kata di tiap kesempatan, tapi sebenarnya tak membangun pengetahuan apa pun. Bagi Sokrates, seperti dikatakannya kepada Gorgias, retorika hanya membuai dan membujuk orang untuk percaya, bukan mengajarkan apa yang salah dan yang benar.
Tapi masa itu Yunani Kuno sedang berubah—mungkin seperti zaman kita. Keutamaan, aretē, tidak lagi diukur dari keberanian berperang atau kebangsawanan sikap; keutamaan diukur dari kekayaan dan sukses membujuk (dan membentuk) pengikut di masyarakat. Plato, seorang aristokrat, mencoba melawan arus ini. Baginya, filosof seperti dia, yang mementingkan pertukaran pikiran dalam dialektika, berbeda dengan kaum “sophis” seperti Gorgias yang, bagi Plato, hanya mengutamakan retorika.
Tapi tak semua orang melihat perbedaan itu ketika pada akhirnya yang menonjol adalah benturan verbal yang bising—atau tipu muslihat.
Di masa itu Aristophanes menulis lakon kocaknya, Nephelai (Mega-mega). Dalam cerita pentas ini, Sokrates digambarkan sebagai direktur sekolah untuk anak-anak muda pemalas dan pemboros yang perlu diperbaiki kelakuannya. Salah satu murid barunya adalah Strepsiades, seorang ayah yang ingin pandai berdebat dan dengan retorika bisa bebas dari utang. Di akhir cerita, anaknya, Pheidippides, bersedia masuk ke sekolah itu—dan memang berubah. Tapi ia bukannya membantu si ayah, malah menunjukkan, dengan argumentasi, ia berhak memukul orang tuanya.
Kata-kata terlalu berkuasa dan membius—dan pada akhirnya sang filosof, yang memujikan rasionalitas, tak bisa dibedakan dengan sang sophis yang hanya mempesona publik.
Bukan hanya di zaman Sokrates.
Mungkin itu sebabnya saya sering cemas ketika mendengar kata “filosof”.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo