Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Washington, D.C, warung kopi tutup pukul 16.30. Saya kecele ketika pulang dari suatu acara hendak ngopi sore di kedai kopi dekat Gedung Putih. Sewaktu saya melewati kafe itu pagi sebelumnya, kedai itu terlihat asyik. Ada kursi-meja mini di terasnya. Jika mau beringsut, di ujung blok ada taman Farragut yang dipenuhi orang-orang membaca dan berjemur. Udara Mei mulai panas di negara subtropis Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjaga kedai itu, seorang perempuan kulit hitam, tersenyum ketika saya coba membuka pintu yang sudah dikunci. Dia menunjuk tanda lampu di belakangnya. Terpacak di sana waktu tutup kedai 16.30. Saya melengos dan bertanya-tanya, mengapa kedai tutup secepat itu. Rupanya, itu pikiran khas orang Indonesia, yang terbiasa melihat kedai kopi buka hingga larut malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Amerika, negara bukan penghasil kopi tapi hampir semua orang dewasanya ngopi sebelum bekerja, kedai kopi buka sebelum terang tanah. Pukul 6.30, para barista siap menyajikan kopi yang segera diserbu para pekerja. Mereka harus ngopi sebelum membuka pintu kantor pukul 7.
Di Indonesia, kedai kopi baru buka pukul 9 atau 10, sementara jam kantor pukul 7.30. Kita pun minum kopi pada siang atau sore bahkan malam. Negeri penghasil kopi ini tak punya tradisi ngopi pagi-pagi. Orang-orangnya tak memiliki kebiasaan memompa adrenalin dengan kafein agar berfokus dalam kerja. Kita terbiasa sarapan dengan karbohidrat melalui bubur ayam atau nasi uduk.
Kopi di Amerika itu kemungkinan besar berasal dari Indonesia. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa Amerika merupakan negara penerima kopi Indonesia terbanyak. Sebanyak 40 persen kopi kita masuk ke sana. Angka ekspor kopi Indonesia ke banyak negara naik 35,71 persen pada 2022. Nilainya US$ 1,4 miliar atau Rp 21,7 triliun dengan volume 433.780 ton.
Kopi Indonesia itu telah menjadi pemompa semangat kapitalisme Amerika dan Eropa. Di trotoar Washington, D.C atau di perkantoran, tak ada orang yang tak menenteng mug kopi ketika pagi. Konsumsi kopi orang Amerika rata-rata 4,3 kilogram per tahun. Maka jika kini penduduk dewasa Amerika sebanyak 86 juta, dan 65 persen dari mereka minum kopi, ada 370 juta kilogram kopi dikonsumsi orang di sana.
Karena lama kerja sehari di Amerika delapan jam, kedai kopi kecil yang buka pukul 6.30 umumnya tutup pukul 14 atau 15. Sebab, jam kantor juga akan selesai pukul 16. Pada pukul 20, Washington, D.C yang besar sudah sepi. Supermarket tutup sejam kemudian.
Orang-orang pun kembali ke rumah, ke apartemen. Mungkin tidur untuk menyiapkan diri bekerja esok pagi. Sementara itu, di Indonesia, pukul 19 orang baru mulai masuk kedai kopi. Kita membuat janji bertemu teman di kafe selepas kerja pukul 16. Sambil menunggu kemacetan lalu lintas reda, janji bertemu bergeser ke selepas isya. Itu sebabnya polisi membatasi kendaraan bermotor di jalan-jalan protokol untuk mencegah kemacetan melalui nomor polisi ganjil-genap hingga pukul 21. Kita pun baru pulang pukul 22, sampai rumah pukul 00. Orang kota di Indonesia tidur hanya empat-lima jam sehari.
Memikirkan kopi dan kebiasaan sehari-hari itu membuat saya jadi ingat Matthew Walker yang menulis buku bagus berjudul Why We Sleep. Para ahli menganjurkan agar kita menghindari minum kopi delapan jam sebelum waktu tidur. Jika Anda terbiasa tidur pukul 22, Anda harus stop minum kopi sebelum pukul 14. Kopi memicu adrenalin sehingga membuat Anda melek. Jika tidur pun Anda tak akan nyenyak. Itu kenapa di Amerika tak ada orang minum kopi pada sore atau malam.
Menurut Walker, waktu tidur ideal manusia dewasa adalah delapan jam. Ingatan akan mentransfer pengalaman dengan sempurna ke dalam memori selama waktu itu. Organ tubuh beristirahat dengan cukup. Sel-sel beregenerasi dengan pas sepanjang delapan jam.
Selama 20 tahun, dosen ilmu saraf dan psikologi di University of California, Berkeley, itu meneliti kebiasaan tidur manusia modern. Penemuan lampu dan listrik, menurut Walker, telah merampas kebiasaan tidur manusia modern dan membuat kita berubah memandang waktu.
Lampu membuat malam tetap terang. Akibatnya, waktu tidur manusia modern lebih pendek dibanding manusia purba yang terlelap rata-rata 7,6 jam sehari. Akibatnya, usia harapan hidup manusia kini lebih pendek dibanding manusia lalu. Sebab, ada banyak risiko akibat kurang tidur. Walker meneliti orang yang tidur empat, enam, dan delapan jam. Ia menyimpulkan, orang yang tidur empat jam sehari berpeluang mengalami kecelakaan lalu lintas 60 persen lebih tinggi dibanding mereka yang tidur delapan jam. Kerusakan otak orang yang tidur empat jam sama dengan kerusakan otak pecandu minuman beralkohol.
Walker meneliti lebih jauh pengaruh gangguan tidur terhadap ekonomi. Pemerintah Inggris kehilangan 26 miliar paun setahun atau setara dengan 2 persen produk domestik bruto akibat penduduknya suka begadang. Pengeluaran negara untuk pengobatan penyakit akibat kurang tidur naik dan produktivitas penduduk menurun. Jadi, ekonomi yang hidup akibat begadang tak sebanding dengan ongkos menangani dampak buruknya.
Maka, di Jakarta, kombinasinya lebih maut: kita menunggu atau mengarungi kemacetan pada sore hingga malam. Sambil menunggu kemacetan reda, kita melipir ke kafe untuk minum kopi. Penduduk Indonesia pun tidur empat-enam jam sehari. Di Indonesia, belum ada yang mengukur dampak kurang tidur terhadap ekonomi dan ongkos kesehatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Warung Kopi"