Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENEGAKAN hukum menjadi titik terlemah dalam penanganan kasus pembakaran hutan. Bahkan, setelah pengadilan membuat putusan, hukum tak bisa langsung ditegakkan. Itu terbukti dari tumpukan putusan perkara perdata pembakaran hutan dan lahan sepanjang 2014-2015 yang belum dieksekusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memenangi sedikitnya sebelas gugatan perdata melawan perusahaan pembakar hutan dan lahan. Seharusnya negara mendapatkan ganti rugi serta biaya pemulihan sekitar Rp 20 triliun. Namun, sejauh ini, uang ganti rugi yang bisa dieksekusi hanya beberapa ratus miliar rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus kebakaran hutan dan lahan pada dekade lalu merupakan yang terbesar dalam sejarah. Selama dua tahun saja, luas area yang terbakar di Sumatera dan Kalimantan mencapai 2.611.411 hektare, termasuk 891.275 hektare lahan gambut, hampir setara dengan 40 kali luas Jakarta.
Kerugian yang ditimbulkan sangat besar, baik secara ekonomi, kesehatan, maupun politik. Akibat terpapar asap, misalnya, ribuan orang menderita infeksi saluran pernapasan akut. Pemerintah pun harus mengalokasikan dana besar untuk pemadaman. Menurut perkiraan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, setidaknya dibutuhkan Rp 140 juta untuk memadamkan tiap hektare.
Indonesia juga sempat mendapat sorotan negatif di kancah internasional. Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia memprotes karena terkena dampak asap. Emisi dari kebakaran tersebut, menurut World Resources Institute, lebih besar dari emisi tahunan Jerman. Pada 2015, Indonesia pun masuk lima besar penyumbang emisi global.
Biaya pembukaan lahan dengan membakar hanya Rp 200-300 ribu per hektare, lebih murah dibandingkan dengan menggunakan peralatan yang bisa mencapai Rp 4-5 juta per hektare. Namun cara membakar lahan yang murah bagi perusahaan terbukti mahal bagi negara dan masyarakat. Karena itu, perusahaan pembakar hutan sudah sepantasnya membayar ganti rugi besar.
Faktanya, dari total ganti rugi yang seharusnya diterima negara, baru Rp 131 miliar yang bisa dieksekusi. Lebih dari Rp 19 triliun masih tertahan karena masalah dalam eksekusi putusan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdalih bahwa hambatannya ada di pengadilan negeri yang berwenang melakukan eksekusi.
Sangat absurd bahwa bertahun-tahun pemerintah seolah-olah tak menemukan solusi untuk mengatasi masalah ini. Fakta ini justru memantik kecurigaan. Semua orang tahu, pemerintahan Joko Widodo memiliki kebijakan “karpet merah bagi investor” untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Jangan-jangan sikap lunak pemerintah terhadap perusahaan pembakar hutan adalah bagian dari kebijakan itu.
Sikap tak tegas pemerintah pun memperkuat anggapan bahwa prinsip “semua orang sama di depan hukum” hanya isapan jempol. Yang terjadi, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dalam praktik sehari-hari, eksekusi putusan pengadilan bisa sangat cepat jika rakyat kecil yang menjadi obyeknya.
Tak ada alasan bagi pemerintah dan pengadilan untuk menunda eksekusi putusan kasus pembakaran hutan. Korporasi pembakar lahan harus segera dipaksa membayar ganti rugi dan biaya pemulihan. Hanya penegakan hukum yang kuat yang bisa mencegah atau setidaknya mengurangi kejadian serupa di masa mendatang.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Loyo Eksekusi Putusan Pembakaran Hutan"