Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata sahibulhikayat, dari pulau tempat hidup para peri laut (orang Yunani lama menamai mereka seiren), makhluk setengah-burung-setengah-manusia itu selalu melantunkan lagu yang merdu, menggoda, mengundang bila ada bahtera yang lewat. Para pelaut yang terbuai akan mendarat di pulau itu. Setiba mereka di sana, angin pun akan mati, laut berhenti, dan ombak jadi rata seperti selembar kaca. Tak lama kemudian, para pendatang akan tewas, seketika, serentak.
Syahdan, di pulau suram itu bertimbun tulang-belulang manusia, sisa mereka yang terbujuk, datang, mati, dari abad ke abad.
Odiseus, Raja Ithaka, yang pulang dari Perang Troya, mendengar cerita itu. Maka ketika bahteranya melewati pulau para seiren, ia—seorang pemberani dan cerdik—bersiap. Ia ingin mendengarkan nyanyian para peri yang menakjubkan, tapi ia tak ingin terbujuk mendarat. Ia pun memerintahkan puluhan kelasi yang mendayung kapalnya menutup kuping rapat-rapat. Mereka tak boleh terbuai. Odiseus sendiri membiarkan telinganya bebas—tapi meminta agar tubuhnya diikat erat ke tiang agung, hingga ia tak bisa terjun, karena tergoda, ke pulau itu.
Ia berhasil. Ia melalui pulau itu dengan selamat dan sempat menikmati suara para seiren. Berabad-abad orang mengagumi Odiseus sebagai teladan hati yang teguh dan kecerdasan yang sukses. Ia manusia yang dengan akalnya mengalahkan misteri alam. Ia survive menembus pelbagai pengalaman dalam perjalanan lautnya—subyek yang satu dan utuh yang menaklukkan yang ganjil, berbeda-beda, di luar dirinya.
Tapi di abad ke-20 yang resah dan ragu, tokoh ini tampak lain. Abad itu (juga abad ini) membawa pencerahan, unggulnya rasio, perkembangan teknologi, dan modal. Tapi ada sisi lain: abad itu juga membawa kebiadaban. Bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, jutaan orang dibasmi di kamar gas dan disekap dalam kamp konsentrasi, jutaan lain ditindas totalitarianisme dan diisap kapitalisme. Dari sana dongeng Homeros mendapatkan tafsir baru.
Para peminat sejarah pemikiran akan ingat yang ditulis Adorno dan Horkheimer dalam Dialektik der Aufklärung (“Dialektika Pencerahan”) yang terbit pada 1944: Odiseus sebenarnya sebuah teladan yang gelap.
Ia memang tampak sebagai diri yang selamat dari ketidakpastian petualangan. Ia bukan obyek nasib dan alam yang misterius. Ia subyek yang melawan itu. Ia melawan dengan cerdik, dan cerdik adalah fungsi rasio.
Tapi tekad dan kecerdikan (List) itu juga yang menyertai kapitalisme dan kekuatan mesin dan politik yang mengalahkan apa saja yang bukan dirinya. “Odiseus, sang penjelajah laut,” tulis Adorno dan Horkheimer, “mengalahkan dengan mengakali dewa-dewi alam sebagaimana pelancong dari dunia yang beradab menipu suku-suku liar dengan menawarkan merjan untuk ditukar dengan gading.”
Tak boleh dilupakan, Odiseus berhasil juga karena ia memaksa para pendayung kapalnya tak ikut mendengarkan nyanyian; hanya dia yang berhak. Yang lain diasumsikan tak ada. Ia Robinson Crusoe di pulaunya. Kapalnya mirip sebuah pabrik yang para buruhnya tak diberi hak memilih intermezo yang asyik. Sang raja ibarat majikan yang memaksakan disiplin kepada para pekerja agar tujuan usaha tercapai. “Mereka yang bekerja,” tulis Adorno & Horkheimer, “dipaksa buat menatap ke muka, penuh energi dan terfokus, mengabaikan apa saja yang di samping mereka.”
Tentu, sang penguasa akan berdalih: para pekerja itu ia “selamatkan” dari godaan bernikmat-nikmat. Kenikmatan adalah pengacau. Agama-agama juga mengajarkan itu: tubuh, yang merasakan nikmat, harus berpuasa.
Dan Odiseus akan bisa berkata, “Lihat, aku sendiri terikat.” Tapi mungkin ia tak akan mengakui bahwa membiarkan dirinya terikat adalah sebuah proteksi. Menahan diri dari godaan seperti itu bukan pengorbanan, melainkan siasat melindungi diri—untuk tak terkena mala, untuk akhirnya bisa mendapat pahala atau hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain, ada kalkulasi. “Sang pengelana yang bersenjatakan kecerdikan adalah homo economicus sejak awal,” kata Adorno & Horkheimer. Odiseus seorang borjuis.
Maka seperti investor, Odiseus mula-mula mengendalikan—dengan mengikat diri—keinginannya. Ia mengalah, sebelum tampil sebagai pemenang. Sukses dan kegemilangannya didahului siasat: dorongan untuk mencapai “kebahagiaan yang utuh, semesta, seluruhnya” seakan-akan ia abaikan, ia anggap remeh.
Sementara itu, kupingnya terbuka….
Apa sebenarnya hasratnya? Memperoleh kenikmatan tanpa risiko yang fatal? Mendapatkan pahala dan keuntungan sendiri, tanpa berbagi?
Hasrat tak punya makna yang menetap. Hasrat adalah satu “métonymie”, kata Lacan. Ia kita kenali dengan satu penanda yang juga mengacu ke penanda lain; maknanya terus-menerus tak selesai.
Akhirnya Odiseus adalah cerita hasrat yang tak bisa didefinisikan. Seperti sejarah keserakahan manusia.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo