Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GRASI untuk Schapelle Leigh Corby sama sekali tidak bermanfaat, malah mendatangkan mudarat. Pemotongan hukuman lima tahun atas penyelundup empat kilogram mariyuana yang dihukum 20 tahun itu bukan sikap yang patut dari pemimpin negeri yang senantiasa menjadi sasaran jaringan narkotik internasional ini.
Kendati hak yudikatif presiden itu dijamin konstitusi, publik tetap memerlukan penjelasan. Juru bicara Presiden dan keterangan kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan hanya menyebutkan grasi itu ”telah dipertimbangkan komprehensif dan mendapat pertimbangan berbagai pihak”. Dengan keterangan begitu cekak, publik tetap tak paham alasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi grasi yang pertama kali bagi terpidana narkotik itu.
Yang mencemaskan, grasi itu mematahkan konsistensi pemerintah melawan kejahatan narkotik. Setelah bertekad tak memberi toleransi pada kejahatan narkotik pada Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan Narkotik pada 2005, tahun berikutnya Presiden Yudhoyono tak mengabulkan grasi Marco Archer Cardoso, yang tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta dengan 13,4 kilogram heroin. Bahkan, dalam peringatan Hari Antinarkotik Internasional pada 2006, Presiden mengungkapkan penolakannya atas permohonan grasi sejumlah pelaku kejahatan narkotik demi keselamatan bangsa dan negara. Ia pun menolak permohonan grasi pertama Corby pada 2010, kendati Perdana Menteri Australia Julia Gillard sendiri yang menyampaikan dukungan terhadap grasi itu.
Seharusnya ada argumen sangat kuat di balik perubahan sikap Presiden Yudhoyono ini. Bila alasan kemanusiaan yang diajukan untuk perempuan 35 tahun itu, rasanya ini tidak adil bagi korban narkoba yang kehilangan masa depan dan bahkan nyawa. Di Indonesia sekarang ada sekitar lima juta korban narkoba. Tak terbayangkan berapa banyak lagi korban akan jatuh seandainya 4,2 kilogram mariyuana yang dibawa Corby sempat beredar. Lagi pula, hampir setiap tahun Corby mendapat remisi dari pemerintah Jakarta. Alasan kemanusiaan barangkali cocok untuk grasi yang diberikan kepada Peter Achim Franz Grobmann, warga Jerman yang tertangkap membawa 2,5 gram ganja, yang menurut pengakuannya untuk melawan rasa sakit akibat penyakit yang dideritanya.
Grasi itu lebih terasa kurang mustahak bila dikaitkan dengan latar belakang Schapelle Corby. Koran Australia, The Sun Herald, edisi 12 Juli 2008, mengutip pengakuan Alan Trembath, sepupu ayah Corby, mensinyalir keterlibatan sang ayah, yakni Michael Corby, dalam perdagangan mariyuana di Australia. Trembath bahkan menduga Corby senior sebagai pemilik mariyuana yang disembunyikan di tas papan seluncur anak perempuannya—yang kemudian ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada 2004. Malcolm McCauley, bekas pedagang narkotik yang sempat mendekam di penjara, juga memberatkan Schapelle dengan menyatakan ia mengirim mariyuana kepada Corby senior, dan Schapelle tahu seluk-beluk operasi penyelundupan barang haram itu.
Pihak keluarga Corby membantah. Mereka menunjuk keterangan kepolisian Queensland yang menyatakan tak menemukan bukti keterlibatan Michael Corby dalam perdagangan narkotik—dua minggu setelah Michael meninggal pada awal 2008 itu. Tapi sampai sekarang polisi Australia tak bisa menemukan pemilik sebenarnya mariyuana yang disangkal Schapelle sebagai miliknya itu.
Pemerintah Jakarta boleh saja berkali-kali membantah adanya tekanan Australia di balik lahirnya grasi atas Corby. Tapi itu tak menghilangkan kesan bahwa hadiah tersebut merupakan kampanye buruk untuk gerakan pemberantasan narkoba.
berita terkait di halaman 90
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo