Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Upaya memberangus suara kritis mempersempit ruang demokrasi.
Pendapat Haris dan Fatia bagian dari kebebasan berekspresi yang mesti dilindungi.
Demokrasi Indonesia berada pada titik terendah sejak reformasi.
RENCANA kejaksaan melimpahkan berkas perkara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ke pengadilan merupakan kabar buruk bagi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Ironisnya, di luar sana, Indonesia malah kembali mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa 2024-2026.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haris adalah Direktur Eksekutif Lokataru, sedangkan Fatia merupakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengadukan Haris dan Fatia ke polisi serta menggugat keduanya sebesar Rp 100 miliar. Luhut menuding kedua aktivis prodemokrasi itu mencemarkan nama karena mengaitkan sang Menteri dengan perusahaan tambang yang merusak lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penegak hukum jelas kebablasan dan melakukan kriminalisasi begitu menjerat Haris dan Fatia dengan pasal pencemaran nama dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sudah terlalu banyak korban pasal yang kerap dipakai untuk membungkam pengkritik penguasa itu. Haris dan Fatia seharusnya tidak menjadi korban pasal karet tersebut. Mereka hanya mendiskusikan hasil penelitian sejumlah organisasi masyarakat sipil perihal bisnis tambang emas di Intan Jaya, Papua. Luhut diduga terafiliasi dengan perusahaan pemegang izin tambang emas di sana.
Pendapat Haris dan Fatia merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang mesti dilindungi. Kritik terhadap pemerintah adalah hal lumrah dan penting dalam kehidupan berdemokrasi. Karena itu, Luhut seharusnya tidak menampilkan wajah kolot kekuasaan yang antikritik. Luhut semestinya merespons hasil riset tersebut dengan penelitian lanjutan. Bila merasa “bersih”, Luhut cukup menunjukkannya kepada publik—misalnya melalui diskusi terbuka—dengan menyodorkan bukti-bukti dari hasil penelitian terbaru.
Langkah polisi dan jaksa memproses pengaduan Luhut hingga berlanjut ke meja hijau kembali membuktikan bahwa hukum kian sering dipakai untuk melayani arogansi penguasa. Berdasarkan catatan SAFEnet, lembaga nirlaba pemantau kebebasan berekspresi, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008-2014), aparat memakai pasal karet Undang-Undang ITE untuk menjerat 72 orang—jurnalis dan aktivis termasuk di antaranya. Angka itu melompat hampir tiga kali lipat di periode pertama Presiden Joko Widodo, yakni 208.
Wajar saja bila sejumlah studi menyebutkan demokrasi Indonesia bergerak dari stagnasi menuju regresi. Studi mutakhir Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University menyebutkan demokrasi Indonesia berada pada titik terendah sejak masa reformasi. Salah satu penyebabnya adalah penyusutan ruang kebebasan sipil akibat intervensi negara terhadap aktivitas masyarakat sipil.
Di tengah menyusutnya ruang kebebasan sipil di dalam negeri, Indonesia tidak layak mencalonkan diri kembali sebagai anggota Dewan HAM PBB. Ketimbang berpura-pura ingin memajukan perlindungan HAM di dunia, pemerintah Indonesia seharusnya menghentikan dulu kriminalisasi serta pengebirian hak berekspresi di rumah sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo