Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Manusia terkena ilusi waktu sehingga membuat batas pada awal dan akhir tahun.
Waktu berlalu dengan ritme di tempat dan pada kecepatan yang menuruti konteksnya.
Mungkin sifat alam semesta tak ditandai aliran waktu.
PADA sebuah hari yang disebut “1 Januari”, dunia disatukan sebuah ilusi. Ada “tahun baru”. Seakan-akan tahun—dianggap mewakili waktu dan diberi nomor, misalnya 2022—adalah panggung yang berbatas tiang dan layar. Panggung itu berganti-ganti secara periodik, dan di sanalah hidup kita digelar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiap kali layar dibuka lagi setelah 12 bulan, kata “baru” jadi ajektif yang dengan meriah diteriakkan. Seperti sebuah konsensus, atau mungkin kelatahan—setidaknya di dunia kota besar—gelas berdenting; sirene melolong; trompet-trompet kertas ditiup mulut yang basah; lagu dan kata-kata, juga doa pendek, dinaikkan ke udara. Manusia—di Jakarta, Seoul, KL, Riyadh, Paris, New York, Rio, Tokyo, dan entah mana lagi—seperti sedang bertemu di satu saat yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi kita tahu, itu hanya ilusi. Apa yang disebut “1 Januari” tak satu: di Wladiwostok berbeda sekian jam dari di Wonokromo. Kita makin menyadari ini, terutama setelah kita punya telepon genggam dengan kamera yang bisa merekam satu saat dan menyiarkannya seketika. “Saat ini”—misalnya pukul 01:12—bagi Ninis di Morotai bukanlah “saat ini” bagi Udi di Pulau Enggano.
“Saat ini” bisa tak sama pula lamanya, karena waktu berbeda kecepatannya dari lokasi ke lokasi. Dalam The Order of Time, Carlo Rovelli, salah satu teoretikus fisika kuantum yang terkemuka dewasa ini, menunjukkan: “kini”, now—yang berarti interval antara masa yang telah lalu dan masa yang akan datang—15 menit lamanya di Planet Mars dan delapan tahun di Proxima b. Maka hanya ilusi, kata Rovelli, jika kita menganggap ada “kini” dengan batas yang jelas di seantero alam semesta. Tak ada satu waktu. Rumus relativitas Einstein menampakkan waktu yang tak terhitung jumlahnya. Tak ada durasi yang seragam.
Tapi tentu saja sehari-hari kita memakai arloji—dan tanpa bertanya lagi mengikuti Isaac Newton. Bagi fisikawan pelopor ini, waktu berjalan secara seragam dan tak terpengaruh apa pun—meskipun, dalam penelitian abad kemudian, ditemukan bahwa waktu lewat lebih cepat di pegunungan ketimbang di permukaan laut. Dalam rumusnya, Newton menyebut “waktu” (time) dengan huruf “t”. Huruf “t” mewakili “waktu” yang “mutlak, benar, dan matematis”, yang tak berubah meskipun dalam konteks yang berbeda. Dengan dasar itu jam dibikin. Untuk tujuan praktis—mengukur berapa menit telur akan masak, memilih jalan mana yang tercepat, membuat janji—kita berpegang kepada “t”.
Rovelli mengakui peran theori Newton, namun ia tetap menegaskan: waktu berbeda-beda. Waktu berlalu dengan ritme di tempat dan pada kecepatan yang menuruti konteksnya. Seperti sudah disebut di atas, tak ada kesatuan.
Tapi dengan demikian sebenarnya, seperti ditunjukkan ilmu fisika abad ke-19 dan ke-20, waktu tak lagi berfungsi. Dalam penghitungan, waktu tak lagi dianggap variabel yang niscaya. Salah satu bagian dari buku Rovelli berjudul “dunia tanpa waktu”.
Tapi tak seluruhnya tiada. Tak berfungsinya waktu kuantitatif tak menghilangkan kenyataan bahwa perubahan terjadi terus-menerus. Tanpa diatur Bapa Waktu, perubahan itu tak bertahap. “Kejadian di dunia tak berbentuk antrean yang rapi orang Inggris”, tulis Rovelli dengan sedikit humor, melainkan “kelompok kacau orang Itali”.
Maka masa-lalu, kini, dan yang-nanti bertaut, tak saling jaga jarak. Itu mungkin sebabnya orang bisa mengatakan, sejarah adalah selalu sejarah-hari-ini: disusun dan dimaknai dengan perspektif sekarang. Tak bisa universal.
Apa kemudian arti waktu? Tak ada.
Maka, tulis Rovelli, mungkin sifat alam semesta tak ditandai aliran waktu. Sebagaimana putaran angkasa, pergantian waktu adalah akibat titik pandang dari sudut di mana kita ada.
Titik pandang itu niscaya, tak terhindarkan. Sebab kita tak bisa memandang dunia dari atas, dari luarnya, hingga lepas dari sudut mana pun.
Yang menarik, Rovelli tak terbawa semangat sains yang ingin murni obyektif, bebas dari titik pandang tertentu. “Dalam berusaha dengan waspada mencapai obyektivitas, sains tak boleh melupakan bahwa pengalaman kita tentang dunia bermula dari dalam”. Di sini ia tak persis menirukan Nietzsche, tapi pendapatnya paralel dengan filosof yang menjauhi dan dijauhi sains itu. “Tiap kita melontar pandang ke dunia”, tulis Rovelli, “kita melakukannya dari perspektif tertentu”.
Tapi yang lahir bukan monolog. Rovelli—yang membawa tafsir “relasional” dalam mekanika kuantum—menemukan artikulasinya dengan membaca Mūlamadhyamakakārikā, himpunan renungan Nāgārjuna. Bagi pemikir Buddha Mahayana yang wafat di tahun 250 ini, tiap hal ada hanya melalui ketergantungan pada sesuatu yang lain, “dalam hubungannya dengan yang lain”. Dalam There Are Places In the World Where Rules Are Less Important than Kindness, kumpulan esainya yang terbit pada 2018, Rovelli mengutip Nāgārjuna ketika memakai kata śunyātā—kehampaan semesta: semua tak punya realitas yang otonom. Hal ihwal ada berkat, untuk, dan dalam persentuhan dengan perspektif sesuatu yang lain.
Juga ilusi pada tiap 1 Januari: kegembiraan dan kecemasan yang saling bersua.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo