Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-TIBA Indonesia—secara tak mencolok—disebut dalam percakapan di Ghana, Januari 2021. Tepatnya dalam cerita yang menyedihkan tentang makanan, kemiskinan, dan seks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pakar gender dan ketenagakerjaan, Bashiratu Kamal, dalam sebuah dialog nasional negeri itu mengungkapkan bahwa “Indomie” menaikkan secara tajam angka kehamilan remaja Ghana. Di Ghana, mi instan asal Indonesia itu digunakan sebagai alat transaksi seks. Gadis-gadis muda diiming-imingi beberapa imbalan menarik. Salah satunya Indomie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi banyak orang, ini mungkin mengagetkan. Tapi mungkin tidak. Pernah seorang Menteri Perdagangan Indonesia mengungkapkan bahwa tak jauh dari Ghana, di Nigeria, ada 10 pabrik Indomie. Ini gambaran keberhasilan peningkatan ekspor dan investasi Indonesia di Afrika. Wartawan BBC Afrika, Akwasi Sarpong, mengatakan Indomie adalah opsi makanan instan bagi banyak orang di Afrika Barat. Iklannya banyak memenuhi siaran TV dan radio serta angka penjualannya juga cukup tinggi sehingga mendorong pengusaha lokal menggarap pasar itu.
Berapa harga sebungkus Indomie di Ghana? Data yang diperoleh dari portal belanja online Ghana, Marketexpress.com, disebutkan Indomie rasa ayam bawang dijual dengan harga 47 cedi Ghana per dus yang berisi isi 40 bungkus atau sekitar Rp 113 ribu. Artinya, harga per bungkus sebesar Rp 2.800, tak jauh berbeda dibandingkan dengan di Indonesia yang dijual seharga Rp 2.500.
Tapi di balik cerita ini adalah kemiskinan—yang membuat para perempuan muda menukar seks dengan makanan, yang di sini kita kenal murah itu.
Bagaimana kemiskinan diukur? Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan ekstrem sebagai hidup dengan kurang dari US$ 2,15 sehari, atau sekitar US$ 700. Tapi kemiskinan bukan semata-mata tentang pendapatan. Kemiskinan adalah kelaparan setiap hari; malnutrisi pada anak; kurangnya akses ke air bersih, tempat berlindung, dan perawatan kesehatan; tidak adanya kesempatan untuk pergi ke sekolah; ketakutan terus-menerus akan masa depan; serta ancaman risiko eksploitasi dan pelecehan—terutama pada perempuan dan anak-anak.
Yang terburuk dari semua itu adalah hilangnya harapan. Seakan-akan kemiskinan menjadi nasib dan bagian identitas.
Kapitalisme biasa dilihat sebagai penyebab keadaan itu. Dalam salah satu unggahan video, The Economist—yang terkenal bukan sebagai penganjur sosialisme—memaparkan visi Karl Marx tentang keadaan sosial ketika kapitalis mendominasi dunia.
Umum kita tahu, Marx meramalkan kapitalisme akan membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin. Ia juga meramalkan kapitalisme dan globalisasi akan menghasilkan segelintir perusahaan yang menguasai kehidupan. Hari ini kita mustahil tak bersinggungan dengan kekuatan modal pada Google, Apple, Facebook, dan Microsoft.
Analisis Marx benar, tapi pada saat yang sama prediksinya meleset. The Economist menunjukkan, Marx tak memperhitungkan kemampuan kapitalisme membuat orang jadi lebih mampu dengan membuat produk jauh lebih murah. Sejak 1980-an, jumlah orang yang berada dalam kemiskinan absolut telah turun lebih dari satu miliar. Marx juga gagal memprediksi kemampuan kapitalisme mereformasi dirinya sendiri dengan menciptakan welfare state yang mendistribusikan kekayaan melalui perpajakan.
Meski demikian, pada saat yang sama, tetap tidak dapat dikatakan kapitalisme hari ini melahirkan dunia yang jauh lebih baik—setidaknya lebih baik secara merata. Di Ghana, cerita Indomie merupakan cerita sukses bisnis Indonesia, tapi juga cerita kemelaratan di Afrika, yang memaksa gadis-gadis menjual layanan seksnya dengan tarif senilai mi instan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo