Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Izin PLTS atap di sejumlah daerah terhambat.
PLN bisa merugi jika harus menyerap listrik dari PLTS atap.
Saatnya merilis aturan yang mendukung pembangkit listrik mandiri.
MANDEKNYA izin untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap menimbulkan pertanyaan atas komitmen pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) soal transisi energi. Masalah ini menjadi indikator bahwa pemerintah setengah hati menyediakan listrik dari energi bersih, yang sudah menjadi bagian dari konsensus global menghadapi risiko perubahan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengguna PLTS atap di sejumlah daerah mengeluhkan lambatnya penerbitan izin oleh PLN. Sebagian bahkan menduga perusahaan setrum pelat merah itu sengaja menghambat izin, setelah pemerintah menerbitkan regulasi baru soal PLTS atap on-grid atau yang tersambung dengan jaringan listrik PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 yang terbit pada Agustus 2021, pemerintah mengubah aturan ekspor listrik atau penjualan kelebihan daya PLTS atap kepada PLN. Dalam aturan lama, PLN bisa membeli kelebihan listrik yang dihasilkan PLTS atap maksimal 65 persen dari nilai yang seharusnya. Kini pengguna PLTS atap bisa “mengekspor” kelebihan listriknya kepada PLN dengan penggantian 100 persen. Nilai ekspor ini bisa menjadi pengurang tagihan atas biaya pemakaian listrik serta jaringan milik PLN yang tetap harus dibayar oleh pengguna PLTS atap on-grid.
Di satu sisi, pemerintah menerbitkan aturan ini sebagai insentif agar pengguna PLTS atap on-grid kelas industri dan rumah tangga terus bertumbuh. Namun PLN kewalahan membayar tagihan ekspor listrik yang cukup besar. Perhitungan Kementerian ESDM menyebutkan PLN bisa merugi Rp 350 miliar jika harus menyerap listrik PLTS atap yang mencapai 450 megawatt-peak tahun ini.
Kerugian PLN bisa lebih besar karena listrik dari pembangkit lain tak terpakai. Apalagi sudah beberapa tahun PLN mengalami oversupply akibat pertumbuhan pelanggan tak sebanding dengan kenaikan pasokan. Di Jawa saja PLN mendapat tambahan pasokan 6 gigawatt dari pembangkit listrik baru, sementara kenaikan permintaan hanya 800 megawatt. Kondisi ini yang dicurigai membuat PLN mengganjal izin PLTS atap on-grid.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan pengembangan listrik dari sumber energi bersih seolah-olah bertentangan dengan bisnis PLN. Yang utama adalah sikap pemerintah yang ambisius untuk membangun pembangkit listrik batu bara dan bahan bakar fosil lain, dengan dalih penyediaan infrastruktur untuk investor. Padahal, jika ada kajian matang, bisa diketahui jika akhirnya pasokan listrik jadi tak seimbang dengan permintaan. Proyek pembangkit listrik energi fosil, selain mengesampingkan komitmen transisi energi, hanya menguntungkan pemasok batu bara atau bahan bakar minyak.
Faktor lain adalah sikap pemerintah yang setengah hati dalam transisi energi. Jika memang serius, sudah sejak dulu pemerintah membuat aturan yang ramah terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), termasuk dengan mengubah undang-undang kelistrikan yang mengatur monopoli jaringan oleh PLN. Monopoli ini yang menghambat penyediaan listrik mandiri dari EBT, yang sudah berlangsung di banyak negara maju.
Seiring dengan inovasi, pengembangan sumber EBT seperti PLTS atap akan makin murah. Bagi investor, skema ini bisa jadi lebih menarik ketimbang harus bergantung pada PLN. Pemerintah semestinya mendorong program penyediaan listrik mandiri tersebut, bukan sebaliknya mempertahankan monopoli PLN yang kerap berujung pada inefisiensi.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo