Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Morat-marit Eddy Hiariej

Wakil Menteri Eddy Hiariej diduga menerima suap dari perusahaan nikel. Mempertegas buruknya pengelolaan kekayaan alam Indonesia.

 

26 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej diduga menerima suap dari perusahaan nikel.

  • Sengketa bisnis perusahaan nikel melibatkan sejumlah nama besar, salah satunya Haji Isam.

  • Kebijakan ekonomi Jokowi yang memilih nikel sebagai komoditas penyokong pertumbuhan melahirkan banyak masalah.

PENERIMAAN uang dari perusahaan tambang nikel oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej makin menunjukkan buruknya tata kelola kekayaan alam Indonesia. Penambangan besar-besaran komoditas bernilai tinggi itu menimbulkan banyak persoalan, termasuk menjadi sumber munculnya moral hazard para pejabat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eddy Hiariej ditengarai memperdagangkan kewenangan dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Dia menerima pemberian uang Rp 7 miliar melalui rekening bank milik anggota staf khususnya. Ia juga meminta posisi komisaris di perusahaan itu untuk dua orang dekatnya, yakni Yogi Ari Rukmana dan Yosi Andika. Pemberian dana dan jabatan itu diduga berkaitan dengan keputusan Eddy memihak salah satu kubu yang bersengketa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Citra Lampia Mandiri adalah pemilik konsesi area pertambangan nikel seluas lebih dari 2.000 hektare. Sebagai wakil menteri, dia bisa leluasa mengintervensi bawahannya agar menerima pendaftaran perubahan akta pendirian perusahaan dari salah satu kubu yang berseteru di perusahaan itu melalui sistem Administrasi Hukum Umum di Kementerian Hukum dan HAM. Menurut mereka yang terlibat sengketa ini, Eddy bahkan bisa berpindah-pindah kubu, yang masing-masing melibatkan "orang kuat" di belakangnya.

Pada Senin, 20 Maret lalu, Eddy datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang menerima aduan adanya transaksi gelap ini. Ia memberi "klarifikasi", bukan menjalani proses hukum. Di sini muncul keganjilan baru karena komisi antikorupsi rupanya tak meneruskan penyelidikan kasus ini. Wajar muncul wasangka bahwa profesor hukum pidana yang pernah menjadi saksi ahli tim pemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam sengketa hasil pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi itu akan lepas dari jerat hukum.

Kongkalikong yang diduga melibatkan Eddy menambah panjang daftar praktik beking dalam pertambangan nikel. Beberapa waktu lalu, terkuak maraknya penambangan nikel ilegal di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, di area milik PT Aneka Tambang Tbk. Bijih nikel dari puluhan tambang tidak berizin bisa dengan mudah masuk ke smelter dengan memakai dokumen "asli tapi palsu".  Semua bisa berjalan karena adanya beking dari seorang pengusaha yang dekat dengan Istana serta suap ke pejabat pemberi izin dan aparat keamanan. 

Pengelolaan tambang nikel seperti itu sangat merugikan negara. Kemudahan diberikan kepada segelintir pebisnis yang dekat dengan penguasa. Mereka sering kali mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan, seperti pencemaran air dan udara serta kerusakan ekosistem. Bukan hanya itu, masyarakat yang tinggal di sekitar tambang juga kerap terampas haknya.

Pelbagai petaka itu tak lepas dari obsesi Jokowi mendapatkan sumber dana secara mudah untuk membiayai pembangunan dari penambangan nikel. Komoditas ini mendadak jadi primadona seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi untuk kendaraan listrik. Menjadi negara penghasil nikel terbesar—memiliki potensi kandungan 11,7 miliar ton dengan 4,5 miliar bijih nikel yang siap ditambang—komoditas ini jelas sangat menggiurkan. Sepanjang 2022, nilai ekspor mencapai Rp 4.524 triliun, dengan ekspor non-minyak dan gas bumi menyumbang Rp 3.652 triliun. Minyak sawit, batu bara, dan nikel adalah penyumbang terbesar ekspor produk Indonesia.

Setelah mengklaim berhasil dalam penerapan larangan ekspor bijih nikel sejak 2020, Jokowi menargetkan realisasi nilai tambah dari penghiliran nikel mencapai Rp 514,3 triliun pada tahun ini. Wajar, eksploitasi nikel besar-besaran akan terus terjadi di sejumlah daerah. Sebagian besar di antaranya mengabaikan tata kelola yang baik.


Baca liputannya:

Jalan pintas menjadikan komoditas nikel sebagai motor pertumbuhan berpeluang mengulang sejarah kelam kebijakan pemerintah yang sangat bergantung pada batu bara sejak 2003 hingga sekarang. Batu bara dianggap sebagai “barang Tuhan” yang terhampar di dalam tanah dan bisa dieksploitasi sesuka hati dengan mengabaikan keseimbangan alam. Dampak praktik beking-membeking, privilese untuk segelintir pebisnis yang dekat dengan penguasa, dan jual-beli kewenangan oleh pejabat bisa terlihat pada terjadinya kerusakan lingkungan, monopoli pengusahaan lahan tambang, serta terampasnya hak masyarakat.

Pengelolaan kekayaan alam yang buruk seperti itu seharusnya dihentikan. Salah satu caranya dengan mengusut pejabat yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi. Di situlah pentingnya Komisi Pemberantasan Korupsi membuka seterang-terangnya pemberian uang melalui orang-orang dekat Wakil Menteri Eddy Hiariej.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus