Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kita mengenal kidal untuk orang yang memakai tangan kiri.
Untuk mengimbanginya ada istilah kinan. Tepatkah?
Konsep kanan dan kiri rupanya tak sekadar menunjukkan posisi dan arah.
PEMUTAKHIRAN sebuah kamus merupakan keniscayaan. Atas usul pengguna bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merekam kata kinan pada Oktober 2019 untuk menyebut orang yang terampil menggunakan tangan kanan. Orang yang baru mengenal kata itu “merayakan” kehadirannya dalam kamus karena mereka beroleh pengetahuan baru selain kata kidal. Padahal kinan lazim digunakan dalam bidang kedokteran sejak 1980-an. Kinan terkait dengan kata lain, yaitu tangan dan kidal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata tangan tampaknya kata asli Melayu karena muncul bentuk kognatnya dalam beragam bahasa, seperti Ilokano, Pangasinan, Belait, Ma’anyan, Malagasy, Selaru, dan Sekar. Kata tangan lazim juga dalam bahasa Jawa Kuno, seperti pada naskah Ramayana: “tanganya kumedut sukunya kumedal”. Demikian pula kata kanan dan kiri. Kemunculan bentuk kognatnya lebih luas daripada kata tangan. Dalam naskah Wirataparwa, yang berbahasa Jawa Kuno, terdapat kalimat turanga kanan keri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata kidal sangat jarang muncul dalam rumpun bahasa Melayu. Dalam korpus Melayu, kidal muncul dalam Elkitab (1821): “deri pada sakalijen rakijet ini adalah tudjoh ratus awrang laki jang terpileh, jang kidal tangannja” dan Hikayat Panji Kuda Semirang (1832): “didapatinya akan Sira Panji itu ada duduk di balai kidal”. Tampaknya kidal berasal dari bahasa Jawa Kuno. Kidal dalam bahasa Jawa Kuno berarti “kiri” dan “kidul atau selatan”, yang antara lain menurunkan bentuk angidal dan kakidal seperti pada “katengen ikan desa Pancala tekap nira, kakidal ikan desa Karna” Wirataparwa.
Dalam bahasa Melayu, kidal digunakan dalam dua konteks, sebagai sinonim dari kiri seperti pada Kort Overzicht van de Maleische Gramatica (1924): “Tangan kita doea boeah. Seboeah ada sebelah kanan dan seboeah ada sebelah kidal” dan sebagai padanan untuk istilah de linkerhand gebruikende “pengguna tangan kiri” seperti dalam Genees-, Ontleed- en Ziektekundig Zakwoordenboekje (1924). Selain istilah itu, ada istilah rechtshandig untuk pengguna tangan kanan yang dalam Kamus Istilah Kedokteran (1961) dipadankan dengan menganan.
Lalu dari mana kata kinan itu berasal? Kata kinan merupakan hasil neologisme yang dilakukan oleh ahli saraf Soemarmo Markam dan sejawatnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil kerja pemadanan istilah di FKUI dilaporkannya dalam makalah “Sebagian Hasil Pengembangan Istilah di FKUI” yang dimuat dalam majalah Pembinaan Bahasa Indonesia (1981) serta buku Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa (1986). Menurut dia, pada 1976 di FKUI dibentuk komisi yang menyusun istilah kedokteran dan berhasil mengumpulkan kurang-lebih 4.500 istilah. Dalam makalah tersebut disertakan 305 istilah yang telah disusun, termasuk kinan (righthanded, dekster), asupan, jangar (migrain), dan rudapaksa (trauma).
Dalam tulisan tidak dijelaskan cara merumuskan kinan sebagai neologisme tersebut. Kata kinan mungkin beranalogi pada kata kidal yang diambil suku pertama dan ditambahkan suku kedua dari kata kanan. Pembentukan ki-nan mirip dengan yang dilakukan Profesor Mien Rivai dengan mengekalkan huruf s dari survive dan menambahkan intas sehingga menjadi sintas sebagai padanan survive.
Konsep kanan dan kiri tidak sekadar menunjukkan posisi dan arah. Keduanya bersalut konotasi dari berbagai konteks dalam berbagai bahasa. Dalam Kitab Suci, ashabulyamin “golongan kanan” lebih beruntung daripada ashabusyimal “golongan kiri”. Dalam bahasa yang sama, kata masy’amah dapat berarti “kiri” dan dapat berarti “celaka”. Dalam bahasa Prancis, kata gauche berarti “kiri” dan berarti “ceroboh”. Dalam bahasa Inggris, kata right berarti “kanan” dan berarti “benar”.
Hal yang ideologis itu berimbas pada hal praktis. Kiri dianggap lebih rendah atau lebih buruk daripada kanan. Kiri berkonotasi dengan jahat dan buruk, sedangkan kanan berkonotasi baik dan mulia. Orang kidal dianggap “aneh” dan memiliki “kelainan” jika dibandingkan dengan orang kinan. Dalam tuturan, sering terdengar orang tua yang menyebut tangan kiri dengan “tangan jelek” ketika melarang anaknya menggunakan tangan kiri untuk makan atau menerima pemberian.
Konotasi seperti itu menambah kesulitan lain pada proses pembentukan istilah. Para dokter pemadan istilah itu menyadari betul kesulitan dalam memadankan dan memasarkan suatu istilah sehingga mereka berkesimpulan istilah itu layaknya barang dagangan. Istilah itu ada yang baik, ada yang buruk, ada yang dapat dipakai, ada yang tidak dapat dipergunakan. Istilah yang kurang baik dapat diperbaiki, yang tak dapat dipakai dapat diganti. Mereka hanya berusaha menyumbangkan pikiran untuk memperkaya bahasa Indonesia sehingga dapat dipergunakan dengan mantap dalam bidang ilmiah. Sebuah sikap yang patut dipuji dan ditiru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo