Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Tangan Jokowi di Partai Golkar

Jokowi berambisi menguasai Partai Golkar. Cara baru tetap relevan dalam kekuasaan.

17 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMBISI Presiden Joko Widodo menguasai Partai Golkar dengan mendorong Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sebagai calon ketua umum merupakan respons panik seorang presiden yang segera kehilangan kekuasaan. Atas restu Jokowi, Bahlil akan bersaing dengan nama-nama yang masuk bursa, yakni Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Bila terpilih, Bahlil menjanjikan Jokowi posisi Ketua Dewan Pertimbangan Golkar. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di era Orde Baru, meski tidak pernah menjadi ketua umum, Presiden Soeharto adalah figur sentral Golkar. Ia mengarsiteki partai itu sebagai upaya mengendalikan politik kepartaian setelah Orde Lama. Duduk menjadi ketua dewan pembina, Soeharto memiliki kewenangan mutlak dalam menentukan kebijakan partai. Ketua umum dua partai lain––Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia––dipilih atas restu pemerintah. 

Pada 2004, saat menjadi wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla pernah pula terpilih memimpin Golkar. Saat itu koalisi pemerintah di bawah kepemimpinan Partai Demokrat, yang didirikan Yudhoyono, tak cukup besar menguasai legislatif. Kalla masuk Golkar untuk “mengamankan” kebijakan-kebijakan pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat.

Kalla adalah kader Golkar bertahun-tahun. Sementara itu, Jokowi tak memiliki sejarah panjang di partai ini. Karena itu, usahanya menguasai Golkar di ujung masa jabatannya dilakukan tak lain agar ia tetap diperhitungkan di lingkaran elite kekuasaan, termasuk menentukan komposisi kabinet pemerintahan mendatang. 

Jokowi juga ingin menjadikan Golkar bunker perlindungan. Sepuluh tahun ia memimpin Indonesia, banyak kebijakannya yang tak memenuhi prinsip tata kelola sehingga membebani anggaran dan berpotensi melanggar hukum. Upaya Jokowi memasangkan Prabowo Subianto dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, merupakan strateginya menancapkan kuku di pemerintahan Prabowo jika kelak terpilih.

Golkar memang menggiurkan. Hingga akhir Februari 2024, penghitungan Komisi Pemilihan Umum menunjukkan partai ini mendapatkan 15,13 persen suara, naik 2,82 persen dibanding pada pemilu sebelumnya. Jika hitungan KPU konsisten, Golkar akan menjadi pemenang kedua pemilu legislatif 2024 di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Kubu Airlangga Hartarto sebenarnya tak tinggal diam. Airlangga berusaha mencegah musyawarah luar biasa terjadi sebelum masa jabatan Jokowi berakhir pada Oktober mendatang. Ia juga merapat ke Prabowo Subianto, yang menurut penghitungan sementara KPU memenangi pemilihan presiden 2024.

Masuknya Jokowi ke Golkar juga akan mengganggu partai koalisi Prabowo. Bagi Jokowi, menguasai Golkar menjustifikasi dividen atas “saham”-nya di pemerintahan Prabowo. Jokowi kabarnya meminta posisi lima menteri diisi orang kepercayaannya di pemerintahan baru kelak. Tanpa menguasai Golkar, permintaan itu mudah ditampik Prabowo. Apalagi jika keberadaan Gibran sebagai wakil presiden dianggap lebih dari cukup mewakili keinginan Jokowi, meski kenyataannya wakil presiden tidak lebih dari sekadar ban serep. 

Dengan kenyataan dan sejarah panjang Golkar itu, semestinya para elite partai ini melawan tiap usaha mengakuisisinya. Partai Golkar memang tak bisa lepas dari kekuasaan, tapi, setelah Oktober 2024, Jokowi bukan presiden lagi. Ia warga negara biasa yang kebetulan ayah wakil presiden. Patron Golkar—betapapun tak sepakatnya kita pada tabiat partai yang membebek kekuasaan—semestinya Prabowo Subianto. 

Dalam jangka panjang, Golkar selayaknya mengambil jarak dari kekuasaan. Partai yang sehat bisa bergabung dengan aneka macam koalisi tanpa kehilangan identitas. Namun syarat-syarat itu tak dimiliki Golkar. Elite partai ini kerap mengkhianati suara konstituen dengan menjadikan partai sebagai alat tukar. 

Desakan menyelenggarakan musyawarah luar biasa sebelum masa jabatan Jokowi berakhir, dengan demikian, menjadi pertaruhan partai itu. Mampukah mereka menjaga partai dari intervensi Jokowi, presiden yang segera kehilangan kekuasaan, bebek lumpuh yang mencoba berjalan tegak?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tangan Jokowi di Partai Beringin"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus