Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI era Firli Bahuri, penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi acap tercemar politisasi. Apa yang terjadi dalam penanganan perkara dugaan korupsi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi contoh terbaru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut penelusuran majalah ini, politikus Partai NasDem itu sudah diusulkan sebagai tersangka lewat gelar perkara pada Juni lalu. Namun usul tersebut macet di meja Ketua KPK Firli Bahuri. Saat Firli melawat ke luar negeri pada akhir September lalu, surat penyidikan dan penetapan Syahrul dan dua pejabat lain sebagai tersangka diteken komisioner lain tanpa setahu Firli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahrul dituduh menyalahgunakan surat pertanggungjawaban (SPJ) keuangan negara dan menerima gratifikasi pada 2022-2023. Ia juga ditengarai menerima upeti rutin ratusan juta rupiah dari pejabat eselon I dan II Kementerian Pertanian. Ada juga setoran untuk penempatan pejabat Kementerian Pertanian. KPK juga menyelisik keterlibatan bekas Gubernur Sulawesi Selatan itu dalam dugaan korupsi pengadaan vaksin penyakit mulut dan kuku (PMK) senilai Rp 2,6 triliun pada 2022.
Tindakan Firli menunda penerbitan surat perintah penyidikan memantik kecurigaan. Di bawah kepemimpinannya, KPK kerap tak tuntas mengusut kasus. Contoh: hilangnya nama-nama politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam dakwaan kasus korupsi bantuan sosial penanganan Covid-19 pada 2020 yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara. Padahal jejak keterlibatan para politikus itu sangat benderang.
Indikasi membekap perkara Syahrul makin kuat setelah Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menerima laporan pada 21 Agustus lalu tentang dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK dalam penanganan perkara Syahrul. Beredar kabar ada setoran uang Rp 1 miliar kepada pimpinan KPK sebagai kompensasi tak seriusnya pengusutan kasus Syahrul. Firli membantah tuduhan tersebut.
Menggantung pengusutan perkara membuka kesempatan mereka yang beperkara menghilangkan barang bukti atau merintangi pengusutan. KPK mensinyalir tindakan itu dilakukan pengacara Syahrul. Para pengacara yang sebelumnya pernah bekerja di KPK mengorek informasi tentang kasus Syahrul dari orang dalam. Penggeledahan di rumah Syahrul mengkonfirmasi dugaan itu. Penyidik menyita sejumlah dokumen, antara lain naskah skenario penghilangan barang bukti, selain uang untuk membekap perkara.
Di tempat lain, saat pimpinan KPK tak kunjung mengumumkan Syahrul sebagai tersangka, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. yang “mencuri panggung”. Kepada pers, ia menyebutkan Syahrul sudah berstatus tersangka. Mahfud dicurigai memanfaatkan keadaan untuk menggaet popularitas menjadi bakal calon wakil presiden. Sebagai menteri koordinator hukum, ia semestinya mendorong pimpinan KPK transparan dan membuka kasus itu kepada publik. Dewan Pengawas KPK perlu menelusuri asal informasi yang diperoleh Mahfud.
Penanganan perkara dugaan korupsi Syahrul Yasin Limpo menunjukkan ketidakprofesionalan KPK. Lebih dari sekadar main-main kasus, KPK mudah dituduh bagian dari permainan politik dan gada pemukul penguasa terhadap lawan politik mereka.
Kecurigaan itu bukan tanpa alasan jika kita menempatkan kasus Syahrul dalam konteks perseteruan Presiden Jokowi dengan Partai NasDem menjelang Pemilihan Umum 2024. NasDem merupakan pengusung calon presiden Anies Baswedan. Adapun Jokowi condong kepada dua kandidat lain: Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Baca liputannya:
- Syahrul Yasin Limpo Dituduh Memeras, Dia Balik Menuduh Diperas Ketua KPK
- Apa Saja Cabang Kasus Pemerasan Syahrul Yasin Limpo
- Isi Legal Opinion Febri Diansyah cs untuk Membebaskan Syahrul Yasin Limpo
- Benarkah Dokumen Penyelidik KPK Bocor ke Pengacara Syahrul Yasin Limpo?
Sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate dari NasDem menjadi tersangka perkara korupsi pembangunan menara stasiun pemancar sinyal Internet (BTS) yang diusut Kejaksaan Agung. Berada di bawah rumpun eksekutif—sebagai konsekuensi revisi Undang-Undang KPK—komisi antirasuah berpotensi dipakai pemerintah dan partai pendukungnya sebagai alat negosiasi dengan lawan politik.
Apa yang dikhawatirkan banyak orang pada 2019 tentang revisi Undang-Undang KPK kini memperoleh bukti. KPK yang tidak independen dengan pimpinan yang minim integritas membuat lembaga antikorupsi itu terjerembap dalam lumpur konflik kepentingan yang makin lama makin menjadi-jadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kolusi Penanganan Perkara Limpo"