Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK di anak tangga batu warna cokelat, Frankie Angels, perempuan berambut hijau itu, dengan suara serak dan mata basah, mengeluh. Anak laki-laki Frankie tertembak mati dan pembunuhnya tidak pernah ditemukan. “Mereka merenggut masa laluku, juga masa depanku. Aku tak siap untuk itu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tahun kemudian ia masih tersiksa oleh emosi yang sama. Rasa yang tak bernama. “Tak ada kata untuk orang tua yang kehilangan anaknya. Tak ada satu pun di dalam bahasa Inggris.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak juga dalam bahasa lain. Bahasa tak menyediakan kata-kata yang pas untuk menggambarkan rentang emosi yang luas dan dalam. Sering kali ketidakmampuan menemukan kata mendorong kita terperosok ke lubang isolasi yang sepi. Percakapan mungkin akan terjadi, ketika ada kata yang hadir sebagai representasi. Tapi bolehkah atau bisakah, dalam kedalaman emosi itu, kita melahirkan kata-kata baru?
Dalam proyeknya, The Dictionary of Obscure Sorrows, John Koenig melahirkan kata-kata baru dalam lanskap bahasa emosi. Selama hampir 14 tahun, ia mendefinisikan neologisme untuk emosi yang tidak bisa dideskripsikan.
Dimulai dari kamus di situs web yang memuat entri verbal satu-dua paragraf, lalu video di kanal YouTube untuk entri-entri individual. Neologisme itu, meski sepenuhnya dibuat oleh Koenig, didasarkan pada penelitiannya tentang etimologi dan makna prefiks, sufiks, dan pelbagai akar kata.
Di sana kita menemukan “morii”, kata benda yang berarti hasrat untuk menangkap pengalaman atau kejadian yang bergerak cepat ketika kita memotret.
Juga “onism”: rasa frustrasi saat seseorang terjebak dalam satu tubuh, di satu tempat pada satu waktu. Suasana seperti ketika seseorang berada di bandar udara, di depan layar keberangkatan yang berkedip-kedip dengan nama tempat-tempat yang asing.
Ada pula “exulansis”, suatu pengalaman ketika seseorang mengajak bicara orang lain tapi orang lain itu tidak tertarik—entah karena iri hati atau kasihan entah sekadar merasa asing.
Diluncurkan pada 2021, kitab 300 halaman itu merupakan narsisisme yang murung, pendefinisian berbagai nuansa kesepian, kegelisahan, kepahitan, dan hal-hal yang pedih. Ada “kesendirian yang menghantui” (“wildred”) atau “kesendirian yang rumit” (“innity”).
Leksem lain yang menjadi perhatian adalah “sonder”, kata benda yang artinya kesadaran bahwa setiap orang di sekitar kita adalah tokoh utama dari cerita mereka sendiri. Ironisnya, pada saat yang sama, setiap orang adalah sekadar pemeran pembantu.
Dalam perjalanannya, “sonder” telah diapropriasi oleh berbagai perusahaan untuk merek sepeda, situs terapi psikologi (Sondermind), serta judul video game. Album ketiga artis pop indie Kaoru Ishibashi diberi nama Sonderlust. “Sonder” juga menjadi judul album keempat dari band progresif metal Inggris, TesseracT, dan album kedua band pop-rock Amerika, The Wrecks.
The Times of India mendeskripsikan The Dictionary of Obscure Sorrows sebagai situs web yang menyenangkan bagi ahli etimologi dan ahli kata. The New Indian Express menyebutnya “eksperimen yang indah di antara celoteh (babble) dan Babel”. The Guardian menyebut proyek Koenig “mengharukan dan menyenangkan, memberikan dukungan leksikal dan linguistik untuk kekosongan ekspresi sehari-hari”.
Ikhtiar Koenig mungkin keberhasilan. Meski ia selalu dihadapkan pada pertanyaan: apakah kata-kata yang Anda sebutkan itu ada atau bermakna—semacam master key yang membuka pintu di banyak kepala. Tanpa “makna” yang berbicara ke banyak kepala, maka kata tersebut tak layak diketahui. Tak perlu “ada”.
Menjawab pertanyaan tersebut, Koenig menggunakan agama sebagai analogi. Ia mengutip Reza Aslan, sarjana sosiologi agama berkebangsaan Iran-Amerika. Katanya, “Agama adalah seperangkat simbol dan metafora yang digunakan orang untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan. Agama pada hakikatnya hanyalah sebuah bahasa; wadah bagi makna yang kita bawa ke dalamnya.”
Jika bahasa—dan kata-kata yang dikandung di dalamnya—adalah agama, berarti kamus adalah kitab suci. Dengan demikian kisah penciptaan merupakan kisah definisi ketika Tuhan menertibkan yang khaos, memisahkan daratan dan lautan, ikan dan burung-burung, laki-laki dan perempuan, yang abadi dan yang fana.
Dengan analogi itu, jika kita mencari makna di dunia, kamus adalah iman dan kitab suci sekaligus. Tugas “kitab suci” ini adalah membawa ketertiban ke alam semesta yang khaotik.
Pertanyaannya, jika manfaat karya Koenig ini adalah membebaskan pembaca dari kesendirian, lalu bagaimana dengan fiksi dan puisi yang telah lama melakukan hal serupa tanpa mempedulikan neologisme?
Pertanyaan berikutnya, apakah kita membutuhkan kata-kata baru untuk menjelaskan nuansa emosional yang meski getir tak jarang juga indah—tempat di mana sastra itu sendiri lahir?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo