Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Target Kementerian Komunikasi dan Informatika membangun 7.904 menara BTS di desa terpencil tak bisa tercapai.
Diduga akibat penunjukan pelaksana proyek yang tidak kompeten.
Menghilangkan akses pembangunan bagi warga wilayah terpencil.
PEMERINTAH perlu segera menghentikan sementara proyek pembangunan stasiun pemancar atau BTS jaringan seluler 4G di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan. Sebab, ada dugaan kesalahan prosedur dalam penentuan pemenang proyek yang berdampak molornya target rencana perluasan jaringan seluler ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), badan di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah menargetkan pendirian BTS di 7.904 desa yang belum tersentuh sinyal 4G. Lokasinya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan Papua Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharusnya semua menara terbangun per akhir tahun ini. Namun pengerjaan tahap pertama—sebanyak 4.200 unit, yang ditargetkan rampung akhir tahun lalu—macet. Per April lalu, baru 3.600-an tower yang jadi. Dampaknya, tahap kedua yang berlangsung tahun ini ikut terhambat dan proyek dilanjutkan pada 2023.
Alasan Bakti yang menunjuk pandemi dan faktor keamanan sebagai biang kerok keterlambatan sulit diterima. Sebab, ketertinggalan terjadi di Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Sebaliknya, pembangunan menara BTS di Papua, yang jelas-jelas terhalang faktor keamanan, relatif lancar dengan capaian mendekati 98 persen.
Sumber masalah diduga ada di pelaksana proyek senilai Rp 5,19 triliun ini. Barisan menara BTS yang tak kunjung jadi itu dibangun oleh konsorsium Fiberhome, yang menggandeng Telkom Infra dan Datang Mobile asal Cina. Mereka adalah perusahaan yang dikenal sebagai pengembang jaringan fiber optik, bukan pembangun menara BTS. Fiberhome masuk melalui tender yang janggal.
Dampak dari kecurangan itu teramat mahal. Di atas kertas, dari jumlah menara yang tak terbangun, taksiran kerugian sekitar Rp 2,54 triliun. Namun kemudaratannya jauh melebihi nilai rupiah. Internet sudah menjadi kebutuhan pokok. Hak atas Internet bukan hanya hak atas informasi, tapi juga jalan untuk pengentasan angka kemiskinan, pemerataan pendidikan, serta pemberdayaan komunitas tertinggal.
Saat ini kesenjangan digital—disparitas antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi dan mereka yang tidak—Indonesia sangat besar. Meski sebagian besar atau 73,7 persen dari 277 juta warga Indonesia adalah pengguna Internet, sebarannya tak merata. Hampir separuh atau 41,7 persen berada di Jawa. Di Sumatera, misalnya, hanya 16,2 persen penduduknya yang terhubung dengan Internet. Di Papua, jumlahnya lebih kecil, cuma 2,2 persen. Itu pun dengan kecepatan koneksi yang jauh di bawah Jawa.
Padahal masyarakat di wilayah terpencil memiliki hak yang sama dengan warga kota besar. Mereka memang tidak perlu memesan makanan cepat saji, tapi Internet dapat membantu anak-anak menggali bahan pelajaran sekolah dan pemuda mencari lowongan kerja ataupun menjual hasil pertanian. Berbagai layanan publik juga butuh koneksi Internet, termasuk laporan status kesehatan dan pengiriman obat bagi pasien Covid-19 lewat PeduliLindungi.
Karut-marut proyes BTS di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika ini telah mencabut kesempatan warga terpencil menikmati segudang kemudahan yang tersedia lewat Internet. Akibatnya, mereka gagal melompat dari semua pembatasan geografis yang selama ini mengungkung. Harus ada sanksi yang setimpal bagi biang kerok kekacauan ini.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo