Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penunjukan penjabat kepala daerah yang tertutup membuat kegaduhan.
Penjabat yang ditunjuk berpotensi ditunggangi kepentingan politik dalam pilkada serentak 2024.
Apa yang seharusnya dilakukan Presiden Jokowi agar penunjukan penjabat kepala daerah tetap memiliki legitimasi?
MEMILIH pemimpin dengan cara demokrasi elektoral saja kita masih bermasalah. Pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, juga pemilihan presiden secara langsung setelah Reformasi 1998 masih berkutat dengan problem lama seputar "jurdil" atau jujur dan adil—slogan lama yang bersemi kembali tiap musim pemilihan umum. Apatah lagi jika pemerintah dibolehkan undang-undang menunjuk kepala daerah. Berbagai permainan politik akan terjadi, kegaduhan pasti tak terelakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, ketika membuat kebijakan untuk orang banyak, pemimpin pemerintahan hendaknya bersandar pada alur prosedur dan asas kepatutan. Tak boleh gegabah, asal jadi, dan main comot-pasang alias copas saja kebijakan yang sudah ada. Mereka harus menimbang dengan bijak: apakah kebijakan itu sesuai dengan semangat konstitusi dan amanat Reformasi? Apakah kebijakan itu layak atau wajar menurut kacamata masyarakat lokal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisa saja kebijakan pemerintah yang aman dijalankan selama ini akan bermasalah jika diterapkan sekarang. Mengapa? Karena pemerintahan bersifat dinamis akibat munculnya fenomena atau peristiwa pemerintahan yang baru. Misalnya, masa jabatan penjabat kepala daerah dulu hanya bilangan bulan. Saya menjadi penjabat Gubernur Riau sejak November 2013 hingga Februari 2014 atau selama tiga bulan. Tapi, sekarang, masa jabatan penjabat kepala daerah berbilang tahun, bahkan ada yang hampir tiga tahun. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, sebuah jabatan politik publik akan dihitung satu periode bila durasinya dua setengah tahun lebih satu hari.
Kenapa lama? Pasal 201 ayat 10 dan ayat 11 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Nomor 10 Tahun 2016 secara eksplisit menyebutkan penjabat kepala daerah harus memimpin sebuah daerah sampai dilantiknya kepala daerah hasil pemilihan serentak 27 November 2024. Secara teknis, para kepala daerah hasil pemilihan tersebut paling cepat dilantik pada Maret 2025.
Jumlah daerah yang harus memiliki penjabat dulu sedikit, satu-dua saja. Sedangkan sekarang, keserentakan pemilihan kepala daerah secara nasional pada 2024 membuat jumlah penjabat kepala daerah yang harus diangkat sangat banyak, hingga 271 orang, dengan rincian 101 orang pada 2022 dan 170 orang pada 2023.
Pada 2024, jumlah penjabat kepala daerah akan bertambah lagi sebanyak 270 orang. Sebab, para kepala daerah hasil pemilihan Desember 2020, menurut Undang-Undang Pilkada, hanya menjabat sampai 2024 atau dipotong masa jabatannya sekitar satu tahun. Jika pelantikan kepala daerah hasil pemilihan serentak November 2024 berlangsung pada Maret 2025, para penjabat kepala daerah akan memimpin selama empat bulan. Artinya, total semua daerah di Indonesia yang berjumlah 541, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta, bakal diperintah oleh caretaker pegawai negeri sipil (PNS).
Dulu penjabat kepala daerah menjalankan pemerintahan pada waktu pemilihan bergelombang atau pilkada putaran kedua yang terbatas jumlah daerahnya. Sekarang yang membuat publik waswas adalah para penjabat dari kalangan PNS memerintah pada masa penyelenggaraan pemilihan presiden dan anggota legislatif 14 Februari 2024 serta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional 27 November 2024 yang digelar di 541 daerah otonom.
Sudah bukan rahasia selama ini PNS terbuka dan rawan dipolitisasi oleh mereka yang berkuasa agar calon kepala daerah, calon presiden, dan calon anggota legislatif yang menjadi “jagoannya” bisa memenangi kontestasi. Para penjabat kepala daerah dengan jaringan kuasa yang dimiliki bisa melakukan “fraud”, sehingga mereka bisa tidak netral dan mengganggu integritas pemilu Indonesia.
Karena itu, pemimpin pemerintahan yang arif tidak begitu saja melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan dalam perundang-undangan, tapi mengkajinya dulu, baru mengeksekusinya. Bila dalam pengkajian timbul reaksi pro dan kontra yang luas terhadap kebijakan itu atau keburukannya lebih banyak daripada manfaatnya, dalam tata kelola pemerintahan yang baik semestinya aturan tersebut direvisi atau diterbitkan peraturan pelaksanaan yang jelas. Dengan demikian, ketika kebijakan diluncurkan, ia bisa “mendarat” dengan mulus. Sebaliknya, bila pemimpin pemerintahan malas mengkaji, hanya pasrah kepada kata anak buah, ditambah “ndableg” tidak mau mendengarkan pendapat ahli dan suara orang banyak, kegaduhan dalam implementasi kebijakan tidak akan terelakkan.
Demikianlah, menurut hemat saya, yang terjadi dalam kegaduhan pengangkatan “caretaker” atau penjabat kepala daerah akhir-akhir ini. Padahal dulu boleh dibilang penunjukan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota dari kalangan pegawai negeri aman-aman saja.
Pangkal keributan pengangkatan penjabat kepala daerah adalah prosesnya yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Siapa yang bermain di balik pengangkatan yang tidak lazim ini? Apakah telah terjadi bancakan politik? Bagaimana ceritanya seorang Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bisa menjadi penjabat Gubernur Bangka Belitung? Mengapa seorang jenderal polisi yang baru pensiun dan belum berpengalaman dalam pemerintahan sipil menjadi penjabat Gubernur Papua Barat? Apa motif pengangkatan seorang Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga menjadi penjabat Gubernur Gorontalo?
Kegaduhan berlanjut dengan pengangkatan anggota Tentara Nasional Indonesia aktif, Brigadir Jenderal Andi Chandra As'aduddin, Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Maluku, sebagai penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Padahal ada Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022 yang sudah mewanti-wanti—bahkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014 yang menggariskan—jabatan struktural aparatur sipil negara tanpa “lepas baju” anggota TNI hanya berlaku di sepuluh kementerian/lembaga, tak termasuk pemerintah daerah.
Kekisruhan makin menjadi dan paling tak elok ketika muncul perlawanan beberapa gubernur terhadap pemerintah pusat gara-gara tiga calon yang mereka usulkan menjadi penjabat bupati atau wali kota ditolak pemerintah pusat. Tanpa komunikasi yang baik, Kementerian Dalam Negeri menetapkan penjabat kepala daerah di luar tiga nama yang diusulkan gubernur. Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, misalnya, menunda pelantikan penjabat Bupati Muna Barat dan penjabat Bupati Buton Selatan sebagai bentuk protes. Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura enggan melantik dan menugasi wakilnya mengambil sumpah penjabat Bupati Banggai Kepulauan, Dahri Saleh. Lima belas menit seusai pelantikan, Dahri Saleh mengundurkan diri tanpa alasan.
Agaknya kegaduhan pengangkatan penjabat kepala daerah ini tidak akan berhenti. Sebab, sampai 2023 masih akan ada 229 daerah yang harus memiliki penjabat kepala daerah. Artinya, pemerintah pusat harus menunjuk seseorang untuk mengisi jabatan itu.
Bukan hanya dalam proses penunjukan, kegaduhan di pemerintahan daerah juga bisa terjadi bila penjabat yang ditunjuk memimpin daerah oleh pemerintah pusat dianggap tidak cakap melaksanakan tugas, umpamanya berkonflik dengan dewan perwakilan rakyat daerah dalam pembuatan anggaran pendapatan dan belanja daerah, berkonflik dengan birokrasi dalam perkara mutasi, terlibat skandal perizinan dan pengadaan barang dan jasa, atau tidak netral dalam pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Untuk mencegah kegaduhan berlanjut, sebaiknya Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur seleksi terbuka penunjukan penjabat kepala daerah dengan sistem kepanitiaan dan melibatkan lembaga representatif daerah. Selain itu, presiden perlu mengatur kewenangan penjabat kepala daerah yang sama dengan kepala daerah definitif, membatasi masa jabatan yang berakhir sampai dilantiknya kepala daerah terpilih, menetapkan larangan mengundurkan diri karena akan maju dalam pemilihan kepala daerah, dan mewajibkan ASN melepaskan jabatan strukturalnya setelah dilantik sebagai penjabat kepala daerah.
Yang terakhir tapi penting untuk menghindarkan kegaduhan adalah mengirim para penjabat kepala daerah hasil seleksi terbuka itu mengikuti orientasi kepemimpinan. Bagaimanapun, memimpin daerah penuh dinamika, ada seni yang berbeda di tiap daerah, dan perlu kecakapan kepemimpinan yang terbentuk dari pengetahuan memimpin daerah di masa otonomi ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo