Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAN berangkatlah Bhima ke alam pasca-kematian dan pasca-kehidupan…
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dongeng Bali ini dikisahkan konflik yang terjadi ketika pangeran kedua Pandawa itu akhirnya tiba di swargaloka, melalui perjalanan yang penuh rintangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menuruti perintah ibunya.
Beberapa waktu sebelumnya, sang ibu, Kunthi, bermimpi: mendiang Pandhu, suaminya, dan Madrim, madunya yang juga sahabatnya, datang dari kubur. Mereka meminta agar dilepaskan dari neraka.
Kunthi iba. Ia pun mengutus Bhima untuk memenuhi pemintaan itu, betapapun mustahilnya.
Dan Bhima pergi. Ia menembus perbatasan yang mengerikan, dan sampai di tempat di mana para atma disiksa sesuai dengan perilaku mereka selama hidup di dunia.
Ada sejumlah bhuta yang bertugas: menggantung para arwah di pohon-pohon, atau menggergaji kepala mereka, atau memasukkan mereka ke dalam sebuah bejana besar, ke dalam kawah gomuka yang bergolak panas.
Ketika Bhima melihat Pandhu dan Madrim di sana, ia segera bertindak. Dibalikkannya bejana hukuman itu, hingga kedua almarhum yang ada di dalamnya lepas. Lalu ia mencari air kehidupan, tirta amrta, untuk dipercikkan ke tubuh Pandhu dan Madrim…
Sebuah cerita yang menakjubkan, yang ringkasannya dilukis dengan imajinatif di Pavilyun Kerta Gosa di Istana Klungkung, Bali.
Bagi yang membaca bahasa Inggris, penulis Italia yang lama hidup di Bali, Idana Puci, dengan memikat menghidupkannya kembali dalam Bhima Swarga: The Balinese Journey of the Soul, (terbit 1982). Melanjutkan revitalisasi itu, hari-hari ini, di Galeri Titik Dua, di Ubud, sebuah pameran digagas Kurator Wahyudin: ia mengundang 12 perupa untuk membuat komentar visual atas cerita yang sama.
Bagi saya, “Bhima Swarga” adalah cerita pembangkangan. Albert Camus akan menyebutnya sebagai “pemberontakan metafisik”. Pembangkangan ini lebih radikal ketimbang pembontakan para budak kepada majikannya. Sang “pembangkang metafisik” tak hanya menolak ketidak-adilan sosial. Ia frustrasi (frustré) oleh semesta alam dan hidup yang diciptakan-Nya.
Ia tak bisa menerima dua macam ketidak-adilan semesta.
Yang pertama tampak ketika dalam “Bhima Swarga,” yang-fana menampik yang-kekal. Yang-fana, bumi dan seisinya—yang selamanya berubah—tak hendak menerima supremasi mahakuat dari yang-abadi: swargaloka, tegal panangsara, neraka. Sebab yang-abadi—pasca-kehidupan dan juga pasca-kematian—adalah situasi yang mandeg, tanpa evolusi kreatif, selesai, tak bisa berubah, dan sebab itu tanpa kasih dan rasa belas yang tumbuh. Tak ada permaafan.
Dan itu sebuah keadilan yang keliru. Adilkah neraka dan hukuman berlangsung kekal, jika kejahatan yang terjadi di dunia dibatasi ruang dan waktu?
Maka Bhima datang, menolak, menginterupsi, bahkan mengacau-balaukan tatanan itu. Ketika ia membalikkan bejana hukuman, ia menunjukkan Pandhu dan Madrim pernah ada dan pernah berdosa, tapi tak selamanya ada dan berdosa.
Tirta amrta, yang bisa menghidupkan mereka kembali, tak menjamin mereka memasuki kebahagiaan. Tapi tanpa jaminan itu hidup tak seutuhnya negatif. Amarah dan sedih, dengki dan kepahitan, tak akan menetap. Orang, juga Pandhu dan Madrim, justru bisa menikmati matahari yang hangat diselingi angin yang sejuk, melihat burung meloncat-loncat, terbang, hinggap kembali. Jika mereka membaca Buddha mereka akan ingat: “Lebih baik hidup sehari menyaksikan muncul dan menghilangnya hal ihwal, ketimbang hidup seratus tahun tanpa pernah menyaksikan muncul dan menghilangnya hal ihwal.”
Hidup, bagi yang-fana, bukanlah jalan tunggal yang lurus dengan satu tujuan—dan membosankan.
Itulah sebabnya dalam perjalanan ke swargaloka Bhima disertai Mredah dan Twaten: dua tokoh kocak. Ada selingan dan permainan, sesekali atau berulang kali. Humor yang sebentar-sebentar justru berarti karena tak terus menerus.
Pendek kata, bagi sang pembrontak metafisik, hidup punya makna dan nilai, justru karena tak abadi. Demikian juga neraka. Jika neraka itu kekal, bagaimana dan dari mana ia ada? Siapakah yang menciptakannya? Sebab yang abadi tak berakhir dan tak bermula sebagaimana Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Siapa yang lebih dulu, neraka, surga atau yang ilahi?
Bhima menegaskan persoalan itu dengan pembangkangannya. Tapi ia juga menegaskan ketidak-adilan yang kedua.
Dalam dongeng Yunani Kuno, ada dewi-dewi ganas penuntut balas, Erinyes. Ketiga wujud yang menakutkan itu gigih menuntut: keadilan harus ditegakkan kapan saja di mana saja—keadilan sebagai pembalasan.
Maka ada yang konsisten kejam dalam keadilan, sebagaimana ada yang bengis dalam neraka—tempat yang dipercaya sebagai lokasi pembalasan sang “maha-kekal”. Dalam lakon Orestes karya Euripides di abad ke=4 Sebelum Masehi, paduan suara para arif berseru, mengelu-elukan, “dengan keadilan datanglah dendam para dewa…”
“Bhima Swarga” bermula justru menafikan dendam itu. Rasa iba Kunthi ketika ia mendengarkan keluhan Pandhu dan Madrim mengisyaratkan bahwa keadilan bertaut dengan kasih sayang. Keadilan bukan mencari pembalasan tanpa batas, melainkan menghasratkan keseimbangan—meskipun mungkin genting dan sementara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo