Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Bangkai Manusia

Begitu tidak bernapas lagi, tubuh binatang langsung mendapat julukan baru, yakni “bangkai”.

26 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Samsudin Adlawi*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dikira Bangkai Tikus Ternyata Bangkai Manusia, Jasad Wanita Ditemukan Membusuk”. Judul berita itu termuat di salah satu media daring pada 2 Desember 2019. Penggunaan frasa “bangkai manusia” tersebut terasa sumbang di telinga. Tidak hanya kurang lazim digunakan, tapi juga bisa memantik ketersinggungan, terutama bagi keluarga yang ditinggalkan.

Tidak sepatutnya tubuh manusia yang sudah meninggal disebut “bangkai”. Semua orang mafhum, manusia tidak (di)sama(kan) dengan binatang. Sebab, manusia lebih mulia daripada binatang.

Memang, untuk urusan makan dan seks, manusia dan binatang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memiliki nafsu pemuas perut dan syahwat. Tapi manusia masih dianugerahi akal, sedangkan binatang tidak. Akal membuat manusia jadi makhluk kreatif, inovatif, dan konstruktif. Dengan akal yang dimilikinya, manusia bisa mengendalikan nafsu makan dan berahinya.

Selain akal, yang membedakan manusia dan binatang adalah perasaan (hati). Akal ditambah perasaan membuat manusia berakhlak dan bermoral. Sedangkan binatang tidak punya akal dan perasaan. Maka wajar jika saat kita sedang asyik duduk-duduk di teras rumah, tiba-tiba ada ayam jago “mengawini” ayam betina di depan mata kita.

Keunggulan derajat manusia atas binatang tidak hanya saat hidup, walakin terbawa hingga mati. Begitu tidak bernapas lagi, tubuh binatang langsung mendapat julukan baru, yakni “bangkai”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan “bangkai” sebagai “tubuh yang sudah mati (biasanya untuk binatang)”. Itu berarti tubuh manusia yang sudah tidak bernapas lagi tak layak disebut “bangkai”.

Lalu apa sebutan bagi manusia yang sudah mati? Sastrawan senior Budi Darma membagi nama tubuh manusia yang sudah mati menjadi tiga tingkatan. Guru besar Universitas Negeri Surabaya ini menjelaskan tiga nama baru orang mati itu dalam cerita pendek berjudul “Sebuah Kisah di Candipuro” (Jawa Pos, 26 April 2020), yakni saat mendeskripsikan prosesi sumpah pocong yang dijalani dua tokoh cerpen tersebut: Pak Jasman dan Jemprot. Sumpah pocong biasanya dilakukan di dalam masjid. Orang yang menjalani sumpah dibungkus dengan kafan, lalu dipocong seperti orang mati.

Nama pertama orang mati versi Budi Darma adalah “jasad”. Julukan itu diperuntukkan bagi orang yang baru meninggal. Dalam kondisi yang sama, tubuh binatang disebut “bangkai”, bukan “jasad”.

Sangat tepat ketika Tempo.co pada 12 Februari 2020 memberitakan bahwa “39 jasad warga Vietnam yang ditemukan di dalam truk kontainer maut di Inggris tahun lalu disimpulkan meninggal karena kepanasan dan kekurangan oksigen”.

Sesuai dengan ketentuan dalam agama (khususnya Islam), “jasad” yang selesai menjalani pemulasaraan biasanya langsung disembahyangi. Begitu prosesi sembahyang atau doa selesai, “jasad” itu berhak mendapat julukan baru, yakni “jenazah”. Kata “jenazah” berulang-ulang disebut ketika Didi Kempot wafat pada awal Mei lalu. Saat itu, sejumlah stasiun televisi melakukan siaran langsung sejak pagi sampai sore. Media online tidak mau kalah.

“Jenazah penyanyi Didik Kempot saat ini sudah meninggalkan RS Kasih Ibu Solo, Jawa Tengah. Keluarga langsung memberangkatkan jenazah Didi ke Ngawi untuk dimakamkan di sana,” tulis Kompas.com, 5 Mei 2020. Tidak salah lagi, yang diangkut ambulans dari Solo ke Ngawi itu betul-betul “jenazah” Lord Didik, bukan lagi “jasad”-nya, dan pasti sudah menjalani proses pemulasaraan. Buktinya, sesampai di rumah duka di Ngawi, Jawa Timur, “jenazah” Didik Kempot langsung disalati. “Beberapa saat setelah disalatkan, jenazah Didi Kempot langsung dipersiapkan menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jatisari,” tulis Liputan6.com, 5 Mei 2020.

Ketika diusung menuju TPU Jatisari, maestro campursari itu mendapat gelar baru lagi, yakni “mayyit”. Mayyit, kata Budi Darma dalam cerpen “Sebuah Kisah di Candipuro”, adalah “jenazah” yang siap dimasukkan ke liang lahad.

Dalam KBBI, mayyit (“mayit”) sama dengan “mayat”. Hanya, definisi “mayat” dalam KBBI tidak sedetail “mayat” menurut Budi Darma. Malah “mayat” versi KBBI sama dengan “jasad” versi Budi Darma, yakni “badan atau tubuh orang yang sudah mati”.

Budi Darma telah membuka mata bahasa kita. Ternyata, sejak baru lepas napasnya sampai menjelang dikuburkan, manusia mengalami proses penggantian nama sampai tiga kali: jasad, jenazah, dan mayyit alias mayat. Ketiga sebutan itu sering digunakan, meski penyebutannya masih terbolak-balik. Bahkan tidak sedikit orang yang menganggap jasad, jenazah, dan mayat itu sama.

Begitulah cara (pengguna) bahasa menghormati manusia. Manusia lebih mulia daripada binatang, sehingga ketika mati tubuhnya tak layak disebut “bangkai”.

*) DIREKTUR JAWA POS RADAR BANYUWANGI, PENYAIR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus