Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Nestapa Tata Kelola Perusahaan Negara

BUMN menghambat pemulihan ekonomi karena terus-menerus meminta suntikan modal negara di saat ruang fiskal menyempit.

18 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • BUMN meminta PMN di saat ruang fiskal menyempit.

  • Kerusakan tata kelola BUMN dimulai dari politisasi penunjukan direksi dan komisaris.

  • BUMN seharusnya menyumbang dividen.

NARASI badan usaha milik negara (BUMN) sebagai lokomotif ekonomi serta agen pembangunan mulai goyah. Tumpukan masalah makin mengurangi peran perusahaan milik negara dalam pembangunan ekonomi. Bahkan BUMN bisa menjadi penghambat pemulihan ekonomi seusai masa pandemi Covid-19 karena terus meminta suntikan modal negara di saat ruang fiskal menyempit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Delapan BUMN kini meminta penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 57,9 triliun. Permintaan ini perlu dipertanyakan karena banyak yang berkinerja buruk. Kalaupun terpaksa harus memberi suntikan modal baru, seharusnya pemerintah lebih berhati-hati dan selektif. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Publik masih ingat pada skandal laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018, yang mengguncang nalar. Di saat hampir bersamaan, muncul kasus penyelundupan sepeda motor Harley-Davidson dan sepeda Brompton oleh anggota direksi maskapai penerbangan pelat merah itu. Tak berhenti di situ, Garuda juga harus menghadapi meja perundingan dengan para kreditor agar bisa tetap hidup. 

Sekarang drama poles-memoles laporan keuangan menimpa Waskita Karya dan Wijaya Karya. Padahal, sama dengan Garuda, dua BUMN karya atau perusahaan sektor konstruksi ini adalah emiten Bursa Efek Indonesia yang diaudit akuntan publik dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan. Jika benar temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, bahwa Waskita dan Wijaya Karya sudah melakukan window dressing sejak 2016, kerusakan tata kelola BUMN sungguh sudah sangat sistemik. 

Dugaan manipulasi laporan keuangan hanyalah bagian kecil dari potret buram pengelolaan perusahaan negara. Dimensi korupsi di BUMN sudah tergolong kejahatan yang absurd. Jika penggelembungan biaya proyek atau markup dianggap biasa, Waskita Karya terbebani proyek fiktif. Jika pemerintah menyuntikkan modal ke perusahaan seperti ini, kebocoran anggaran negara akan terus berlanjut.  

Mariana Mazzucato, profesor di University College London dan penulis buku Mission Economy, mengungkapkan pentingnya kolaborasi negara dengan badan usaha dalam mengantarkan ekonomi menuju tingkat inovasi tinggi. Sayangnya, dalam konteks Indonesia, hubungan kekuatan negara dan badan usaha milik negara sering diartikan sebagai kolaborasi politik, bukan inovasi. Kerusakan tata kelola dan pengawasan internal sebuah BUMN dimulai dari penunjukan jajaran komisaris hingga direksi yang sarat kepentingan elektoral, bukan berorientasi pada profesionalitas.   

Dalam sebuah pertemuan terbatas, Menteri Perdagangan dan Industri Singapura yang kebetulan sedang berada di Jakarta mengajak segelintir ekonom berdiskusi tentang inovasi dan industrialisasi. Kunjungan itu berlangsung pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang sedang bersemangat membangun infrastruktur dan menjalankan penghiliran industri. Ketika pembicaraan sampai ke peran BUMN, saya mencoba bertanya, "Apa beda BUMN di Indonesia dengan di Singapura?" Dengan panjang-lebar sang Menteri berbicara tentang proses seleksi manajemen BUMN Singapura, Temasek, yang dilakukan tanpa intervensi politik. 

Hasilnya sudah bisa ditebak. Temasek dikelola secara profesional, bahkan mendatangkan talenta internasional terbaik yang menduduki jabatan puncak. Ada nama Robert Zoellick, mantan Wakil Sekretaris Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat sekaligus adjunct professor Harvard University yang masuk jajaran pengurus Temasek. Tak mengherankan, dengan rasio utang 25 persen, pendapatan Temasek masih mencapai US$ 135 miliar atau sekitar Rp 2.205 triliun pada Maret 2022, kendati kondisi eksternal masih menantang. 

Dengan raut wajah sedikit bergurau, salah satu menteri paling berpengaruh di Singapura itu melanjutkan, "Bahkan saya sebagai menteri tidak bisa menunjuk siapa yang akan menjalankan BUMN." Seisi ruangan kemudian terdiam. Jawaban ini amat kontras dengan model pemilihan anggota direksi dan komisaris BUMN di Tanah Air yang kental dengan nuansa politik, bahkan intervensi kekuasaan secara terang benderang. Sering kali intervensi ini mengatasnamakan keselarasan program pembangunan pemerintah dan BUMN. Tentu saja alasan ini amat lemah. 

Kenyataannya, keselarasan misi pembangunan di bidang infrastruktur, misalnya, berlangsung melalui penugasan ugal-ugalan yang pada akhirnya memakan banyak korban. BUMN karya dipaksa berutang dengan berbagai skema, antara lain melalui pembiayaan sindikasi dari bank milik negara. Memang, saat ini likuiditas perbankan sedang gemuk sehingga gangguan pada pengembalian pinjaman proyek BUMN masih bisa ditutupi lewat berbagai skenario. Tapi tak tertutup kemungkinan, begitu jumlah proyek yang bermasalah meningkat tajam, bank BUMN dibayangi risiko kredit macet.

Efek penugasan tanpa dasar akhirnya membuat BUMN limbung. Dampaknya merembet ke para vendor yang sebagian di antaranya adalah pelaku usaha skala kecil-menengah. BUMN yang keuangannya tertekan memilih jalur kepailitan atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Akhirnya, yang dirugikan adalah vendor kecil dengan cash flow terbatas karena pembayaran tagihannya macet. Hal ini memicu kekhawatiran BUMN menghindari tanggung jawabnya dengan berlindung pada skema kepailitan.

Kasus eksploitasi vendor sebenarnya sudah cukup lama ditutupi karena tidak semua berani berbicara. Ada yang khawatir pembayaran makin lama ketika mereka memprotes BUMN pemberi kerja. Bak puncak gunung es, penugasan infrastruktur yang diharapkan memberi efek positif pada pelaku usaha kecil justru menjadi blunder. Multiplier effect atau efek berganda dari pembangunan infrastruktur kini menjadi negatif. 

Exit strategy lain BUMN yang menjadi pesakitan di meja PKPU adalah melakukan penggabungan atau holding. Program holding BUMN terkesan baik, mengembalikan BUMN ke core business. Tapi jangan salah, holding juga bisa berarti BUMN sehat dipaksa berbagi beban dengan perusahaan yang bermasalah. Sebagai contoh, rencana pembentukan holding BUMN karya menjadi cara menyelamatkan perusahaan dengan utang besar. Tapi, di sisi lain, tidak ada jaminan kinerja BUMN sakit itu membaik setelah bergabung dalam holding

Tidak ada jalan lain, harus ada perbaikan fundamental pada BUMN. Pertama, jauhkan intervensi politik dalam pemilihan anggota direksi dan komisaris BUMN. Pejabat negara yang masih merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN perlu segera di-retool. Seleksi direksi secara profesional akan diikuti ketatnya rekrutmen karyawan BUMN. Sering kali karyawan yang profesional dan memiliki talenta terbaik kalah akibat cawe-cawe pemimpin BUMN. Akibatnya, terjadi demoralisasi, karyawan berprestasi sering kalah oleh titipan partai atau relawan. 

Kedua, seleksi kembali penugasan BUMN, terutama untuk proyek yang belum mencapai financial closing atau masih dalam proses uji kelayakan. Proyek yang memang tidak bisa didukung anggaran negara dan tingkat keuntungannya kecil sebaiknya dibatalkan. Jangan ada lagi cerita proyek komersial seperti pembangunan jalan tol atau moda angkutan seperti kereta cepat Jakarta-Bandung diserahkan kepada BUMN yang ujungnya meminta modal negara. Kalau proyeknya bernilai komersial, BUMN seharusnya menyumbang dividen, bagi untung, bukan bagi rugi.

Ketiga, pengawasan BUMN menjadi kunci keberhasilan tata kelola. Auditor yang jelas tersangkut manipulasi laporan keuangan harus masuk daftar hitam OJK. Akuntan semacam itu tak hanya mesti dilarang mengaudit perusahaan publik, izinnya pun harus dicabut secara permanen. Peran pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, hingga kejaksaan harus berorientasi pada hasil, bukan sekadar prosedural. 

Keempat, Menteri Keuangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat harus membuat standar ketat pengucuran PMN untuk BUMN yang tengah bermasalah. Fungsi PMN harus dikembalikan sebagai bentuk investasi negara untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Jangan memberikan PMN jika manfaat ekonominya kecil atau bahkan digunakan untuk melegitimasi tata kelola BUMN yang buruk. 

Masalah BUMN, harus diakui, makin pelik ibarat tumpukan cucian kotor. Tapi cucian kotor itu harus segera dibersihkan dengan detergen terbaik, sebelum nodanya makin kering dan membandel. Langkah itu harus dilakukan agar BUMN tidak lagi menjadi beban negara, tapi berperan sebagai motor ekonomi seperti di Cina, Singapura, dan banyak negara lain. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus