Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESUATU yang tak lazim terjadi pada 5 April 1887, di Tuscumbia, sebuah kota kecil di Alabama. Hari itu, seorang anak Amerika yang sama sekali buta dan tuli tiba-tiba bisa mengenal kata, mengenal nama benda, mengeja, menangkap awal bahasa. Tanpa keajaiban, tanpa malaikat, hanya dengan air yang tercurah dan mengalir di tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak itu Helen Keller. Kini ia hampir dilupakan, tapi di masanya ia termasyhur ke seluruh dunia. Lewat peristiwa luar biasa hari itu ia bisa menjelajah. Ia membaca, menulis (akhirnya 14 buku), bicara, bepergian, berkomunikasi dengan pelbagai orang, juga di 35 negeri jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Helen lahir 17 Juni 1880. Ia jadi buta dan tuli di usia 19 bulan, setelah terserang satu penyakit yang waktu itu tak diketahui obatnya. Tapi orang tuanya cukup berada; ayahnya seorang editor koran, ibunya putri seorang jenderal. Mereka mendatangkan seorang guru untuk mengajarnya berbahasa, termasuk menulis dan membaca. Sebuah tugas yang nyaris mustahil, tentu, tapi datanglah Anne Sullivan. Perempuan berumur 20 itu berasal seorang gadis miskin yang matanya setengah buta, lulusan Perkins School for The Blind. Ia diupah untuk mendidik Helen. Mula-mula tak mudah, tapi kemudian Anna menemani Helen selama 49 tahun.
Mungkin dengan sang guru, si buta-tuli mendapatkan empati dan pencerahan.
Dalam bukunya, The Story of My Life, ia mengenang:
“Kami menuruni jalan ke bangunan sumur, terbujuk harum rumpun lonicera yang menyelimutinya. Ada seseorang yang mengambil air dan guruku menarik tanganku ke bawah pancuran. Ketika alir sejuk tercurah ke salah satu tanganku, Anna menuliskan kata 'air' di tanganku yang sebelah, mula-mula pelan, kemudian kian cepat. Aku berdiri terpaku, seluruh perhatianku tercurah merasakan gerak jarinya. Tiba-tiba, dalam kesadaranku yang samar, muncul sesuatu yang seakan-akan terlupa—sebuah getaran pikiran yang kembali. Entah bagaimana misteri bahasa terungkap. Aku pun tahu bahwa 'a-i-r' berarti sesuatu yang sejuk menyenangkan yang mengalir di tanganku.”
Tulis Helen Keller pula: “Kata yang hidup itu telah membangunkan sukmaku, membebaskannya, memberinya harapan, sukacita. Tentu masih ada rintangan, tapi rintangan itu suatu saat akan tersingkir....”
“Kata” yang ditemukan Helen pertama kali dalam hidupnya bukanlah sebuah petilan kamus, bukan sesuatu yang leksikal, melainkan pengalaman. Ia jadi makna karena beredar dalam kebersamaan dengan orang lain. Kata “air” yang meloncat masuk ke dalam kesadaran Helen sudah lama dan akan lama ada karena ia juga disebut Anne, ayah, ibu, kakak-adik, teman—dan makin lama makin banyak orang lain di dunia.
Dari pengalaman Helen Keller itu kita tahu, bahasa tak hanya punya makna karena proses logika yang teratur dan konsisten. James Joyce, yang menulis Finnegans Wake—novel yang ditulis dengan bahasa yang nyaris tak bisa diterjemahkan—mengatakan bahwa bagian besar hidup manusia berlangsung dalam keadaan yang tak bisa dibikin jelas oleh bahasa “bermata-nyalang” (wideawake language) dan tata bahasa yang persis rapi (cutanddry grammar).
Makna kata, atau makna dan kata, didapat dengan menjelajah bersama—juga dalam wilayah non-linguistik, di mana bahasa tak diperlukan tapi tubuh berdegup hidup. Saya ingat apa yang dikatakan Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra: “Ada lebih banyak kearifan (Weisheit) dalam tubuhmu ketimbang dalam filsafatmu yang terdalam.”
Kini, seabad lebih setelah Helen Keller mengenal kata “air”, orang mengenal chatbot, program komputer yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) beserta teknologi NLP yang memproses bahasa sehari-hari, “natural language”. Dengan itu AI sanggup menulis teks kontrak bisnis khotbah gereja, dan seperti robot Ameca, menulis puisi haiku dan menyanyikan lagu Elton John.
Kini bahasa bukan lagi cuma milik manusia. Dalam hal menemukan dan memiliki bahasa, Helen Keller, penulis The Story of My Life yang bangkit dari bisu-tuli, bukan makhluk istimewa. Bahkan ada yang tak unggul dalam dirinya. Sistem AI dapat menyerap jumlah yang dahsyat secara lebih cepat dan efisien, membuat tata bahasa dan himpunan kosakata yang lebih unggul terutama dalam bahasa yang asing, dan Helen Keller tidak.
Tapi tak berarti ada hierarki unggul dan rendah. Yang ada adalah beda yang dalam. Dalam Language as Hermeneutic: A Primer on the Word and Digitization (2018), penelaah bahasa termasyhur, Walter J. Ong, menunjukkan, bahasa dan pikiran manusia—beda dengan bahasa komputer—terpaut erat (embedded) ke dalam apa yang non-verbal yang juga diutarakan keseluruhan dunia eksistensial dan historis manusia, yang berinteraksi secara dialektis untuk memproduksi makna. Bahasa dan pikiran manusia, kata Ong, juga berlangsung dalam kebisuan. Bagaimana akan dibuat digital “air” yang muncul dari rasa sejuk seorang gadis buta-tuli yang tangannya tiba-tiba basah di sumur?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo