Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman terjerembap dalam konflik kepentingan. Proses penetapan putusan permohonan uji materi batas usia calon presiden dan wakil presiden yang akan berlaga dalam Pemilihan Umum 2024 memberi indikasi kuat konflik itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi tengah mengadili permohonan pengujian materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menetapkan syarat usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden. Pengajuan tiga permohonan uji materi itu datang dari pengurus Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan Wali Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Erman Safar. Mereka kompak meminta ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden diturunkan menjadi 35 tahun.
Belakangan, menyusul permohonan terpisah dari Arkaan Wahyu Re A dan Almas Tsaqibbirru Re A, kakak-adik yang tinggal di Surakarta, Jawa Tengah, kota asal Presiden Jokowi. Arkaan meminta ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden turun menjadi 21 tahun. Adapun Almas mempertahankan usia 40 tahun, tapi menambahkan syarat kandidat berpengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota jika tak memenuhi syarat batas usia.
Kedua mahasiswa itu akhirnya mencabut permohonan mereka. Namun, dalam dokumen gugatan, keduanya berkali-kali memuji keberhasilan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai anak muda yang sukses membangun kota asal mereka.
Keputusan Mahkamah Konstitusi memproses permohonan uji materi bermasalah. Perubahan tentang ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden menyangkut politik hukum yang sifatnya terbuka (open legal policy), atau menjadi kewenangan lembaga pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi tak berwenang mengadili perkara ini.
Upaya mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden merupakan usaha memuluskan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2024 mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Upaya menyandingkan Prabowo dengan Gibran terganjal aturan batas usia calon wakil presiden, karena Gibran saat ini masih berusia 35 tahun.
Kepada media, Anwar Usman pernah memberikan pernyataan tentang gugatan ambang batas usia kandidat presiden. Seolah-olah memberi isyarat MK akan mengabulkan permintaan para penggugat, Anwar menyebutkan banyak pemimpin dunia datang dari kalangan muda. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi jelas melarang hakim berkomentar atas perkara yang akan atau sedang diperiksa serta perkara yang sudah diputus.
Majelis hakim konstitusi sesungguhnya sudah merampungkan pemeriksaan pada pertengahan September lalu. Pada 25 September, Rapat Permusyawaratan Hakim untuk menentukan putusan telah digelar. Hasilnya: mayoritas majelis hakim menolak uji materi, yang artinya batas usia calon presiden dan wakil presiden tetap 40 tahun. Anehnya, pengumuman hasil kesepakatan yang semula akan disampaikan tiga hari kemudian malah ditunda. Anwar Usman disebut-sebut meminta Rapat Permusyawaratan Hakim susulan untuk membahas permohonan uji materi tambahan, termasuk yang diajukan Arkaan dan Almas.
Mahkamah Konstitusi semestinya tidak menunda pembacaan putusan, apalagi dengan motif mengubah hasil kesepakatan para hakim. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus turun memeriksa pelbagai keganjilan dan indikasi pelanggaran kode etik dalam persidangan tersebut.
Baca liputannya:
- Hubungan Jokowi-Megawati Soekarnoputri Memanas. Apa Pemicunya?
- Mengapa Kaesang Pangarep Bergabung dengan PSI?
- Masih Adakah Peluang Duet Prabowo Subianto-Ganjar Pranowo?
Dugaan konflik kepentingan Anwar Usman perlu mendapat perhatian khalayak sebagai perkara yang serius. Peraturan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi secara tegas menyebutkan hakim konstitusi harus menjaga independensi dari pengaruh mana pun, apalagi mengakomodasi kepentingan politik keluarganya.
Hakim konstitusi yang lain harus berani menolak pelbagai intervensi untuk mengegolkan perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden. Tanpa keberanian itu, kredibilitas lembaga ini makin ambruk dan Mahkamah Konstitusi bersalin menjadi mahkamah keluarga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bukan Mahkamah Keluarga"