Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI ikan busuk, sekali dibuka, bau amis korupsi menara BTS atau pemancar telekomunikasi alias base transceiver station 4G menguar ke mana-mana. Mereka yang terlibat bancakan uang proyek itu satu per satu terendus, termasuk nama terkenal di lingkaran kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korupsi yang menyeret Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate itu memang bukan perkara biasa. Kerugian negaranya sangat fantastis: sekitar Rp 8 triliun dari Rp 10 triliun dana yang telanjur cair. Adapun anggaran keseluruhan proyek itu Rp 28 triliun. Modus perampokan uang negaranya pun sangat kasar. Selain harganya digelembungkan, sebagian besar menara BTS masih gaib alias fiktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 4.200 menara yang seharusnya dibangun sampai akhir 2021, baru 957 yang berdiri. Itu pun tak semuanya bisa dijalankan. Padahal, bila semua tower berfungsi, jutaan orang di ribuan desa terpencil bisa berkomunikasi dan mendapat informasi seperti halnya masyarakat kota.
Kuat indikasi proyek ini sejak awal dirancang untuk “pesta pora” elite politik. Triliunan rupiah dana universal service obligation—setoran perusahaan yang memakai frekuensi publik yang dikelola Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika—menguap lewat perusahaan yang terafiliasi dengan partai politik.
Ditilik dari banyak sisi, kasus BTS adalah contoh sempurna korupsi “state capture”, istilah yang pertama kali digunakan Bank Dunia untuk menggambarkan korupsi negara-negara Asia Tengah pada awal 2000-an. Korupsi sistemik ini terjadi ketika kepentingan swasta mempengaruhi pembuatan kebijakan demi keuntungan segelintir orang. Dengan kata lain, korupsi merajalela karena pengusaha dan pembuat kebijakan berkomplot menggarong uang negara.
Korupsi kategori ini memburuk ketika mekanisme checks and balances tak berjalan, partai politik berkerumun dalam koalisi besar pendukung pemerintah, lembaga penegak hukum tak independen, serta kontrol masyarakat sipil lemah akibat represi atau kooptasi. Korupsi “berjemaah” itu sulit dibongkar karena para pemainnya saling menutupi kesalahan. Kerap kali perlu friksi di kalangan elite politik agar korupsi state capture bisa terungkap.
Kabar baiknya, elite politik di negeri ini pun mulai saling mengorek borok lawan karena kepentingan menjelang pemilihan presiden 2024. Dalam konteks itulah pengusutan kasus korupsi BTS dijalankan. Kita tahu, di samping menjabat menteri, Johnny Plate adalah Sekretaris Jenderal Partai NasDem. Johnny Plate ditahan ketika hubungan pendiri NasDem, Surya Paloh, dengan Presiden Joko Widodo memburuk akibat perbedaan pilihan calon presiden.
Kasus korupsi BTS menyambar ke mana-mana ketika relasi Jokowi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merenggang setelah Megawati Soekarnoputri menyalip Jokowi tatkala menunjuk Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Desakan agar jaksa mengusut peran sejumlah politikus partai banteng dalam kasus BTS pun bergaung.
Untuk sementara, masyarakat bolehlah bertepuk tangan. Saatnya kita menonton “gajah-gajah” besar bertarung. Yang penting, jangan sampai ada “pelanduk” yang menjadi korban.
Tentu saja, dari kepentingan penegakan hukum, pengusutan kasus BTS tak boleh tersandera oleh perseteruan elite politik yang bisa berubah arah kapan saja. Karena itu, Kejaksaan Agung seharusnya bekerja lebih keras. Tak cukup menjadikan Johnny Plate dan enam orang lain sebagai tersangka. Semua penerima dana korupsi proyek BTS harus diseret tanpa tebang pilih.
Masalahnya, Kejaksaan Agung pun tak steril dari politisasi. Kita sulit membayangkan Johnny menjadi tersangka bila jaksa agungnya masih “utusan” Partai NasDem. Sama sulitnya membayangkan petinggi PDI Perjuangan atau Partai Gerindra menjadi tersangka bila jaksa agungnya adalah “petugas” partai tersebut.
Supaya tak menjadi “tumbal” sendirian, Johnny harus berani "menggigit" politikus lain yang menikmati duit korupsi menara BTS. Masyarakat sipil pun perlu mengawal kasus ini agar tidak macet gara-gara saling sandera para politikus. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tarung Gajah Menara Telekomunikasi"