Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi tak mengherankan sebenarnya.
Komedi punya kaki yang ringan. Dalam proses yang penuh banyolan di panggung, peran dan kata-kata meloncat lincah dari satu posisi ke posisi lain. Tak jelas mana yang unggul. Kita tak anggap penting tujuan ceritanya. Kita terpulut oleh tiap adegan dan improvisasi yang melipur lara, dan kita tertawa di detik itu seakan-akan buat pertama kalinya—seperti ketika kita menyaksikan Susilo di panggung Teater Gandrik atau Charlie Chaplin dalam film pendek. Kita tak bertanya, untuk apa, ke mana arahnya, apa pesan moralnya.
Ada adegan baru, tokoh baru, percakapan baru, langkah baru, lurus atau menyimpang—tapi apa dasarnya?
Agaknya tentang kaki ringan itu pula Machiavelli menggubah Mandragola.
Syahdan, sejak tersingkir dari arena politik Firenze, Italia, pada 1512, ia menyendiri dan menulis. Di tahun 1513 bukunya yang termasyhur, Il Principe, beredar dalam bahasa Latin dengan judul De Principatibus.
Mandragola digubahnya setelah Il Principe, sekitar 1518. Komedi lima babak ini mengisahkan kejadian yang berlangsung cuma 24 jam. Callimaco, pemuda ganteng dan terpelajar yang pulang dari Paris, tergila-gila pada Lucrezia. Tapi perempuan yang membangkitkan berahinya ini istri Messer Nicia, seorang hakim setengah baya, kaya raya, dan terpandang. Callimaco tak tahu bagaimana cara menembus itu. Ia juga tak bisa merayu Lucrezia. Perempuan ini takut berdosa dan rajin berdoa di bawah asuhan Frater Timoteo.
Namun ada celah: Nicia tak sabar punya anak. Bertahun-tahun Lucrezia tak juga hamil.
Dari sini Ligurio, seorang pialang perkawinan yang cerdik, membantu Callimaco. Ia beri jalan: Callimaco harus pura-pura jadi dokter yang bisa meracik “mandragola”, sebuah jamu yang harus dinyatakan bisa membuat perempuan subur dengan lekas. Meskipun juga harus disebut risikonya: lelaki pasangannya akan mati setelah seminggu.
Nicia, hakim yang agak tolol, tertarik. Tapi ia berpikir: Lucrezia mungkin mau minum jamu itu, tapi ia, suaminya, tak ingin mati seminggu setelah menyetubuhinya. Katakanlah, bisa pakai seorang lelaki lain sebagai pengganti. Tapi Lucrezia, yang tekun berdoa agar dikaruniai anak, tak akan mau berzina.
Ligurio pun siap dengan skenario tambahan: Timoteo bisa diminta membuat fatwa yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah—khusus dalam kasus ini. Diharapkan Lucrezia bisa tenang. Untuk fatwa itu sang Frater (Machiavelli menyebut tokoh ini sebagai “frater sesat”) memang mau dibayar.
Nicia siap menyogok. Tapi mungkinkah ada lelaki yang bersedia meniduri Lucrezia dan seminggu setelah itu mati? Jalan keluar Ligurio: nanti malam akan diringkus seorang pemain musik jalanan dan akan dipaksa bersetubuh dengan istri Pak Hakim.
Yang pura-pura diringkus tentu saja Callimaco, dan cerita berakhir senang. Callimaco berhasil meniduri perempuan yang membangkitkan berahinya, Nicia bahagia karena yakin istrinya akan hamil, dan Lucrezia bisa menikmati zina dengan restu Gereja kapan saja....
Pendek kata, muslihat yang sukses—dan Machiavelli menggubah sebuah syair setelah Babak Ketiga:
Tipu daya yang demikian halus
Dengan saksama dan berhasil mulus
Telah mengikis cemas dan galau
Dan rasa manis datang, rasa pahit terhalau
Hasil—itulah nilai sebuah tindakan. Hasil yang baik menghapus sifat keji cara mencapainya. Tujuan menghalalkan cara.... Kita ingat Machiavelli sering dianggap sebagai perumus asas yang brutal itu, dan tampak komedi Mandragola menegaskan teori politik Il Principe. Penguasa sukses dalam bidangnya—yakni mengukuhkan kekuasaan—karena “sí suave è l’inganno...”, begitu halus muslihatnya.
Machiavelli dikecam. Bukunya pernah dilarang dibaca oleh Gereja karena dianggap hendak memisahkan kekuasaan politik dari kebajikan moral dan tak melihat agama bisa jadi sumber akhlak yang baik. Dalam Mandragola Machiavelli kita ketemu Timoteo yang mudah disogok, dan dalam Il Principe kita dapatkan petuah-petuah seperti ini: “...seorang penguasa yang ingin menjaga otoritasnya harus belajar bagaimana agar tidak baik.”
Tapi salahkah Machiavelli? Ia, mantan pejabat dan diplomat, sebenarnya hanya menyimpulkan pengalamannya. Ia lihat permainan politik adalah silat berkaki ringan. Tak ada ikatan batin dengan dasar nilai yang tertanam dalam. Malah tak ada batin. Penguasa membangun “batin” yang tak hanya satu, tak konsisten, berubah-ubah menuruti kalkulasi untuk berkuasa.
Althusser, pemikir Marxis terkemuka, memuji Machiavelli karena orang ini melihat sejarah bukan sebagai realisasi ide yang tunggal dan kekal, melainkan ekspresi materi yang berubah terus. Machiavelli, kata Althusser, bukan tak kenal moral, melainkan seorang “materialis”, peka akan sifat acak perubahan, peka bahwa proses dunia materi tak punya arah. Machiavelli: seorang materialis aléatoire.
Mungkin sebab itu ia merisaukan. Orang takut mengakui sejarah adalah jutaan dadu yang dilempar dan tak dapat diarahkan lebih dulu.
Tapi apa jadinya andai sejarah tak seperti komedi, melainkan film laga yang para tokohnya tak pernah selip, tak pernah goblok, selalu lempang di tiap gebrakan?
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo