Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pergeseran Makna Laut

Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai laut sebagai kumpulan air asin. Kini bayangan tentang laut telah berubah.

7 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai laut sebagai kumpulan air asin.

  • Kini bayangan tentang laut telah berubah.

  • Laut tak lagi indah karena telah dicemari sampah.

DULU, membayangkan laut adalah imajinasi tentang air biru yang dilengkapi dengan pantai bersih dan pasir putih. Anak-anak kecil berlarian ke sana-kemari tanpa rasa takut menginjak pecahan beling, paku, dan sejenisnya. Senada dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memaknai laut sebagai kumpulan air asin. Kini, bayangan tentang laut telah berubah, tak lagi indah karena telah "dihiasi" kumpulan sampah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan ini bukan hanya koar-koar tanpa dasar, tapi dapat dibuktikan kebenarannya lewat fakta-fakta yang telah beredar. Dalam skala nasional, potret seekor kuda laut yang menenteng cotton bud—korek kuping—di perairan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, “sudah cukup membuktikan” bahwa kini biota laut hidup berdampingan dengan sampah. Foto tersebut diabadikan oleh seorang fotografer bernama Justin Hoffman. Seyogianya si pembuang cotton bud sembarangan itu malu terhadap kelakuannya yang dipergoki masyarakat negeri lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, dalam skala internasional, Lindsey Hoshaw dalam tulisannya di harian New York Times edisi 10 November 2009 menyebutkan bahwa tumpukan sampah di Samudra Pasifik yang terus bertambah setiap dekade dipercaya telah mencapai dua kali luas Texas, Amerika Serikat. Tentu saja ini menjadi berita yang mencengangkan, karena manusia perlu membayangkan ada sebuah “pulau sampah” yang kira-kira ukurannya sebelas kali luas Pulau Jawa. Bisa membayangkannya, tidak? Senanar inikah Bumi Pertiwi yang kita cintai ini?

Lebih lanjut, Hoshaw mengemukakan bahwa secangkir air laut atau segenggam pasir pantai di semua penjuru dunia telah tercampuri mikroplastik. Tak pelak banyak ikan di laut—yang sialnya biasa dikonsumsi manusia—telah tercemari merkuri atau bahan kimia organik lain. Hal ini terbukti dari sebuah survei oleh US Department of Agriculture pada Desember 2009 terhadap 20 perawat dan dokter untuk menguji 62 bahan kimia dalam air kencing dan darah mereka. Hasilnya sungguh mengejutkan: semua partisipan—setidaknya—memiliki 24 jenis bahan kimia di dalam tubuh mereka dan 2 partisipan didapati memiliki 39 bahan kimia dengan kadar tinggi. Parahnya lagi, satu di antara puluhan bahan kimia yang terkandung di dalam tubuh partisipan dicurigai sebagai bahan karsinogenik atau penyebab kanker. Tak terbantahkan lagi, peralatan hidup modern—sampah yang berceceran di laut didominasi produk industri, seperti bola lampu, plastik snack, sikat gigi, gagang es krim, dan bungkus mi instan—menjadi salah satu sumber utama pencemaran laut.

Deretan “pulau sampah” di laut juga mengancam keberadaan fitoplankton—organisme kecil yang serupa dengan tumbuhan—sebagai penyumbang 50 persen oksigen di bumi. Bahan-bahan kimia yang mengalir ke laut akan menimbulkan kematian fitoplankton dalam jumlah yang masif, kemudian menciptakan daerah-daerah rendah oksigen atau juga biasa disebut dengan “daerah mati”. Di daerah ini, akan ditemukan banyak ikan yang tidak bisa hidup. Satu di antara “daerah mati” yang paling luas di dunia adalah tempat Sungai Mississippi masuk ke Teluk Meksiko.

Apa jadinya jika “pulau-pulau sampah” itu kian bertambah, sementara pencarian ikan laut kian susah? Bagaimana jika acara memancing tak lagi bertema memancing ikan, tapi memancing sampah yang berceceran? Jika semua telanjur telat, mampukah manusia mengembalikan yang telah lewat? Nasihat bijak itu selalu benar, penyesalan selalu datang terlambat. Saat semuanya sudah terlambat, agaknya hanya kumpulan manusia sekarat yang bisa dilihat.

Dilansir dari Science Daily edisi 1 April 2010, tingkat keasaman laut di era industri seperti saat ini telah berada di angka 2,9. Sementara itu, ambang batas keasaman laut yang diajukan oleh para ilmuwan adalah 2,75. Jika tingkat keasaman laut sampai menyentuh di bawah angka 2,75, akan terjadi kematian masif pada organisme bercangkang. Pengasaman air laut merupakan dampak emisi karbon dioksida yang terus bertambah tiap hari. Tingkat keasaman air laut di era industri jauh berbeda dengan era pra-industri, yang “sempat” berada di angka 3,44 (masih cukup jauh dari ambang batas). Hal ini memang mengindikasikan bahwa produk industri memiliki peran yang besar dalam keberlangsungan lautan.

Selain itu, jumlah aliran fosfor ke laut di masa pra-industri masih berada di angka 1 juta ton per tahun. Sementara itu, ambang batas aman yang ditawarkan para ilmuwan adalah 11 juta ton per tahun. Masih “sangat aman”, kan, di masa pra-industri? Sayangnya, kini aliran fosfor ke laut telah mencapai angka 8,5-9,5 juta ton per tahun dan apesnya jumlah ini akan terus bertambah dengan cepat. Fakta ini seharusnya membuat manusia ketar-ketir. Semoga istilah “kepunahan keenam” yang digaungkan para ilmuwan tidak benar-benar menjadi kenyataan. Sebuah kepunahan massal yang diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri.

Pada akhirnya, apakah Kamus Besar Bahasa Indonesia perlu mengubah makna laut dari kumpulan air asin menjadi kumpulan sampah? Patut untuk direnungkan!

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus