Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
T
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HALHAH binti Agil bin Ahmad bin Abubakar as-Sakran hamil tua. Ia mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Dikisahkan, dari dalam perutnya, sayup-sayup ia mendengar perdebatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Keluarlah kau,” kata salah satu janin. “Kau saja yang keluar dahulu,” kata janin yang lain.
Janin yang satu mengutamakan janin lain. Sebab, janin yang keluar lebih dulu akan menjadi kakak. Diriwayatkan, perdebatan ini sempat membuat sang ibu khawatir. Sebagaimana kebanyakan ibu, Thalhah menghendaki kelahiran putranya dengan cepat dan selamat.
Akhirnya salah satu janin itu berkata, “Keluarlah kau lebih dahulu, nanti aku yang masyhur, tapi sesungguhnya: al-masyhur fi barokat al-mastur.” Yang masyhur ada karena keberkahan yang mastur atau yang tersembunyi. Riwayat ini dikisahkan dalam Tajul A’rôs karya Habib Ali bin Husein Al-‘Atthas yang ditampilkan kembali dalam buku kecil dengan judul Sekilas tentang Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas karya Ustad Novel Alaydrus (halaman 111-112).
Bahasa Indonesia menyerap kata masyhur, mengartikannya sebagai dikenal orang banyak, terkenal atau kenamaan; tapi tidak menyerap kata mastur. Yang masyhur dan yang mastur biasanya digunakan secara dualistis. Dualisme itu, misalnya, tampak dalam tradisi mengenali wali-wali di Nusantara: ada wali-wali masyhur, yakni wali yang karamahnya diperkenankan diketahui orang banyak, dan ada wali mastur yang karamahnya tersembunyi.
Dari buku ini, yang masyhur dan yang mastur dimaknai sebagai dualitas ketimbang dualisme. Riwayat itu menegaskan dua hal, yakni, pertama, “yang masyhur ada karena keberkahan yang mastur atau yang tersembunyi”. Dengan itu, ada hubungan yang erat antara kemasyhuran dan kemasturan. Kemasyhuran seseorang adalah berkah kemasturan orang lain yang tak menampakkan diri. Yang mastur adalah kakak dari yang masyhur. Dengan itu, yang masyhur dibatasi, ia mesti meletakkan rasa hormat kepada yang mastur. Kedua, “yang masyhur dan yang mastur” adalah hasil perdebatan deliberatif. Dengan demikian, selalu ada dimensi konsensual sekalipun nuansa organis juga besar dalam pembagian peran publik. Tafsir semacam ini sedikit-banyak juga mendasari pembagian kerja paling dasar dalam politik: semua pemimpin politik adalah yang masyhur, tapi ia bisa berperan baik hanya apabila mendapatkan restu dari yang mastur, yakni seluruh sistem dan daya kerja organisasi yang biasanya tak tampak ke permukaan. Tak akan pernah ada kepemimpinan politik yang baik tanpa kerja organisasi politik yang baik.
Dalam refleksi yang lain, riwayat ini jangan-jangan bisa juga memperkuat filsafat mengenai diri di luar dualisme Cartesian. Filsafat bahasa membagi dua jenis aku, yakni aku sebagai aku yang mengucapkan dan aku yang kuucapkan di dalam bahasa. Selalu ada pertarungan antara aku dan aku yang dihasilkan oleh bahasa. Sosiologi interpretatif membagi diri dengan “I” dan “Me”: “I” adalah aku yang belum mengalami sosialisasi atau aku sebagai subyek, sementara “Me” adalah aku yang telah mengalami sosialisasi atau aku sebagai obyek pengalaman-pengalaman. Dalam sudut pandang Cartesian, masyhur bisa jadi adalah aku yang telah menjadi obyek pengalaman-pengalaman, sementara mastur adalah subyeknya.
“Keluarlah kau lebih dahulu, nanti aku yang masyhur, tapi sesungguhnya: al-masyhur fi barokat al-mastur.” Di sini seakan-akan ada dua diri, yakni, pertama, “yang keluar lebih dahulu tapi tak terkatakan” dan yang kedua adalah “yang keluar kemudian tapi masyhur”. Keduanya disatukan di bawah berkah dari yang mastur. Yang unik dari kisah ini adalah kata akhir pemisahan diri itu diposisikan oleh ucapan atau sudut pandang dari “yang masyhur”. Yang masyhurlah yang memutuskan untuk meletakkan diri di bawah berkah dari yang mastur. Logos mengatur dan memutuskan segalanya, tapi ia bisa keluar hanya setelah “yang hening” dan tak terkatakan “dinyatakan” lebih dulu.
Suatu hari di depan saya, duduklah seorang sahabat lama bermarga Bin Agil. Ia menegaskan bahwa kisah tentang “yang masyhur dan yang mastur” adalah riwayat mengenai dua keluarga, yakni keluarga Al-‘Atthas dan Al-Syaikh Abubakar. Baginya, kisah itu bukan sekadar metafora, melainkan penanda jalan hidup dan peran tiap garis keturunan yang mesti dihayati dalam laku. Ia menerima hidupnya dari garis “yang mastur”, dengan itu ia mesti memilih jalan berkarier dalam bidang dan peran yang tersembunyi dan tak menonjolkan diri apalagi mencari popularitas. Ia punya minat besar dalam politik. Namun, sesuai dengan garis itu, ia memilih berperan di belakang dan merelakan peran-peran publik yang penuh sorot kepada saudaranya yang lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini mengalami perbaikan pada Minggu, 22 September 2024, pukul 22.44.