Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengelolaan royalti pencipta lagu dan musik selama ini bermasalah.
Upaya pemerintah merapikan pengelolaan royal ditumpangi kepentingan pihak tertentu.
Sejumlah bekas anggota tim sukses Jokowi dan anak bekas pejabat ikut cawe-cawe.
TAHUN ini semestinya menjadi tonggak bersejarah bagi pelaku industri musik Tanah Air. Presiden Joko Widodo akhirnya menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta, PP Nomor 56 Tahun 2021 telat datang dua tahun dari jadwal semestinya. Maka, ketika regulasi yang ditunggu akhirnya bergulir akhir Maret lalu, ada harapan besar sederet permasalahan yang selama ini terjadi pada pemungutan dan pendistribusian royalti—yang menjadi hak pencipta lagi dan musikus—bisa dibenahi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas, isi peraturan pemerintah berupaya memenuhi ekspektasi itu. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), lembaga non-bujeter yang diamanatkan undang-undang untuk mengelola royalti lagu dan musik, diperkuat. Lembaga bentukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia itu juga mendapat tugas membangun Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). Adanya sistem informasi yang terintegrasi digadang-gadang bisa mengatasi rendahnya akuntabilitas pengelolaan royalti.
Namun PP Nomor 56 Tahun 2021, yang penyusunannya dinilai tidak transparan oleh banyak pelaku industri, dalam waktu cepat menunjukkan belangnya. Kecurigaan bermula tatkala LMKN menunjuk PT Lentera Abadi Solutama (LAS) sebagai pengembang SILM pada pertengahan Mei lalu. Tak hanya supercepat, latar belakang penunjukan ini juga serba gelap. Sejumlah komisioner LMKN menyatakan tak tahu-menahu.
Penelusuran Tempo juga tak menemukan keberadaan PT LAS di dua alamat kantor yang tertera di akta pendirian perusahaan dan perjanjian dengan LMKN. Perusahaan ini baru didirikan pada Desember 2020 oleh beberapa badan usaha. Sejumlah selebritas yang pernah dan sedang berada di lingkaran kekuasaan tercatat bertengger di belakang layar sebagai pengurus dan pemegang saham perusahaan-perusahaan tersebut. Putra bekas Wakil Kepala Kepolisian RI dan putri mantan wakil presiden terselip di antara mereka.
Isi perjanjian kerja sama LMKN dan PT LAS yang paling ganjil. Perusahaan ini tak hanya menjadi penyedia SILM, tapi juga seolah-olah bertindak sebagai “pengganti” LMKN. Bahasa resminya pelaksana harian yang akan mengurus keuangan, administrasi, teknologi informasi, lisensi, royalti, hingga hukum. Kerja sama ini berlaku selama 10 tahun, yang kelak bisa diperpanjang. Selama itu, setiap tahun, PT LAS berhak atas 20 persen dari total nilai royalti lagu dan musik yang bisa dihimpun dalam SILM. Jika dihitung dari rata-rata pendistribusian royalti yang dicatat LMKN pada 2019, perusahaan bisa mengantongi Rp 15 miliar per tahun.
LMKN harus membatalkan perjanjian yang mengandung klausul tak masuk di akal itu. Meski tak memakai anggaran negara, pengadaan SILM semestinya berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik lantaran biayanya akan dibebankan pada dana pemegang hak cipta dan hak eksklusif lain.
Pemerintah juga sepatutnya mengevaluasi isi PP Nomor 56 Tahun 2021. Langkah ini penting dilakukan agar niat pembenahan tata kelola royalti tak malah menjadi ajang bagi sekelompok elite di lingkaran kekuasaan merampas hak ekonomi para pelaku industri musik yang sejatinya dilindungi undang-undang. Tanpa ada jaminan atas hak mereka, jangan berharap industri musik Tanah Air bisa berkembang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo