Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kita memakai
Gaya miliiteristik yang jadi umum.
Bahasa selalu menyediakan ketidakjelasan dalam percakapan.
SALAH satu jejak Orde Baru yang masih kita rayakan hari ini adalah bahasa polisi dan tentara yang mewarnai percakapan sehari-hari. Kita menyatakan persetujuan kepada ide orang lain, atau penerimaan terhadap ajakan orang lain, dengan “siap!”. Dalam beberapa hal, “siap” bisa berarti apa saja: persetujuan, penerimaan, penolakan secara halus, atau tanda memutus percakapan.
Di kantor saya, seorang anggota satuan pengamanan (satpam) akan terus mengatakan “siap” ketika mengomentari tiap kalimat atasannya. Ia mengatakan “siap” ketika bertemu dengan komandannya. Ia juga akan mengatakan “siap” ketika ditegur atas kesalahannya. Ia pun mengatakan “siap” ketika mendapat pujian komandannya.
“Siap” telah menjadi kata generik untuk makna apa saja. Ia mungkin sejajar dengan “anu”, meski kata ini punya arti yang netral karena tak menunjukkan apa-apa. Pada “siap”, ia menunjukkan eufemisme, sampiran untuk menunjukkan ketidakjelasan sebagai bagian dari sopan santun.
Ketidakjelasan, kita tahu, telah menjadi corak manusia dalam memakai bahasa. Orang Indonesia terlatih untuk itu. Kita terbiasa menyampaikan sesuatu dengan sindir-sampir, dengan kode-kode, hingga berpengaruh pada bahasa tulis dan lisan.
Jika maksud dan tujuan masih bisa disampaikan dalam ketidakjelasan, dan penerimanya dianggap cukup paham, hal tersebut tak perlu disampaikan dengan lempang. Para pemain politik sudah mencontohkannya dan kita merayakannya.
Sejak berlakunya pemilihan langsung, mereka yang populer adalah politikus yang sopan. Joko Widodo sejak awal tak pernah secara jelas menyampaikan keinginannya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Bahkan, dalam beberapa pernyataan publik, ia seolah-olah menolak jabatan itu. Kalau ditanya, ia selalu bilang, “Copras-capres, ora urus!” Dan ia jadi presiden dua periode.
Sebaliknya, mereka yang secara jelas menyampaikan keinginan menjadi presiden cenderung kehilangan popularitas sejak awal. Yusril Ihza Mahendra, Aburizal Bakrie, bahkan Prabowo Subianto adalah contohnya. Orang Indonesia menganggap orang yang berterus terang, apalagi dalam meraih kekuasaan, sebagai orang yang ambisius. Sementara itu, ambisius adalah penyakit hati yang harus dihindari. Apalagi dalam hal berkuasa. Soeharto tersenyum untuk reaksi apa saja. Kita tak tahu apa arti senyum di baliknya.
Dengan percakapan publik seperti itu, “siap” untuk ketidakjelasan menjadi gampang diterima sebagai bagian dari komunikasi. Juga kata “izin”. Jika kita mendengar pejabat berpidato atau berbicara, dan di antara audiens itu ada mereka yang punya jabatan dengan kekuasaan lebih tinggi, pembicara akan memulai kalimatnya dengan “izin”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Izin untuk apa? Izin berbicara. Ada yang berkebalikan dalam hal ini. Sebab, pembicara pasti sudah mendapat kesempatan untuk berbicara. Dalam acara resmi bahkan sudah dipersilakan oleh moderator, tercantum dalam susunan acara yang diketahui semua orang. Sementara “siap” menunjukkan ketidakjelasan, “izin” untuk menegas-negaskan yang sudah jelas.
Mungkin itu juga bagian dari sopan santun. Sebagai orang “Timur”, kita merasa sudah bersikap sopan dan mendapat kesopanan dari orang lain ketika memakai kata “izin”. Karena itu, menanggalkannya akan terasa menjadi tidak sopan. Padahal, jika benar kita meminta izin, lalu izin tidak diberikan, percakapan juga tetap berjalan. Pada akhirnya, kata “izin” juga untuk melengkapi ketidakjelasan.
Untuk ketidakjelasan jenis ini kita juga terlatih sejak kecil. Ketika kita bersekolah, di rapor ada jumlah SIA, yakni sakit, izin, dan alpa. Sakit mesti dibuktikan dengan surat dokter, alpa yang berarti lupa adalah mangkir tanpa alasan. Nah, mangkir tanpa alasan atau terlalu rumit menjelaskan alasannya, tapi tidak sakit, kita mengelompokkannya dengan “izin”.
Maka permintaan izin yang sebetulnya memerlukan persetujuan pihak kedua—jika siswa berarti atas persetujuan guru—menjadi tidak diperlukan lagi. Kita—siswa, orang tua, guru—bersepakat pada arti “izin” untuk makna ketidakjelasan tadi. Maka, ketika kini kita pakai “izin” sebagai kata pertama untuk sopan santun sebelum menjelaskan hal-hal pokok, kita juga menerimanya sebagai hal yang tak perlu tapi penting.
Ketidakjelasan selalu menyebalkan. Tapi bahasa manusia menyediakan wilayah abu-abu seperti itu. Dan dengan cara itu komunikasi menjadi lancar, betapa pun absurd dan mencederai konsep komunikasi itu sendiri, sebagai tukar-menukar tanda melalui bahasa. “Siap, izin.…”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo