Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Minyak goreng curah langka di mana-mana.
Pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi minyak goreng curah.
Kebijakan pengaturan harga minyak goreng terbukti tidak efektif.
PEMERINTAH harus membatalkan penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan subsidi minyak goreng curah. Kebijakan pengendalian harga ini tak hanya bakal mubazir, tapi juga berpotensi memantik persoalan baru yang tak kalah pelik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegagalan kebijakan HET dan subsidi minyak goreng kemasan semestinya cukup untuk menjadi pelajaran. Minyak goreng kemasan seketika menghilang di pasar modern tatkala Kementerian Perdagangan memulai program harga murah pada awal Februari 2022. Produk ini baru kembali memenuhi rak-rak toko swalayan ketika pemerintah mencabut aturan itu dicabut pada 16 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amat disayangkan, tak belajar dari kesalahan, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian malah kembali menerapkan kebijakan HET dan subsidi untuk minyak goreng curah. Dampaknya sudah bisa diterka: minyak goreng curah langka di mana-mana. Kali ini situasinya lebih mengkhawatirkan. Konsumen produk ini, sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, harus merasakan getahnya.
Penetapan HET memang lazim diberlakukan terhadap barang konsumsi yang bersifat strategis. Tujuan utamanya adalah melindungi konsumen dari penetapan harga di luar kewajaran (excessive), terutama oleh produsen di sektor usaha dengan pasar persaingan tak sempurna. Pelaku industri minyak sawit dan produk turunannya termasuk rentan bertindak sewenang-wenang karena pasarnya yang oligopolistik. Bisnis ratusan triliun rupiah di industri ini didominasi segelintir kelompok usaha yang terintegrasi vertikal dari hulu ke hilir.
Permasalahannya, kebijakan HET minyak goreng, baik kemasan maupun curah, telah menyimpang dari fungsinya membentuk keseimbangan harga. Batas atas harga jual yang ditetapkan pemerintah jauh di bawah nilai keekonomian produk tersebut. Sepintas, konsumen diuntungkan. Namun harga murah yang dipaksakan ini mencerabut hak produsen untuk meraup keuntungan secara wajar.
Betul, pemerintah telah menyiapkan subsidi bagi produsen. Namun sedari dulu subsidi merupakan skema yang ribet dan menyimpan segudang persoalan. Jadi wajar saja jika kemudian pengusaha ogah-ogahan menyokong kebijakan pemerintah yang jelas-jelas bikin mereka buntung. Kelangkaan minyak goreng, akibat seretnya pasokan dari produsen, pada akhirnya memukul konsumen juga.
Pemerintah tak mesti berlagak mampu mengendalikan harga minyak goreng. Minyak sawit (CPO) dan produk turunannya merupakan komoditas perdagangan dunia yang harganya sangat dipengaruhi oleh pergerakan pasar global. Lonjakan harga minyak goreng mustahil bisa diredam di saat harga minyak sawit sebagai bahan bakunya masih membubung seiring dengan tingginya permintaan di pasar internasional.
Urusan naik-turunnya harga minyak goreng curah seharusnya diserahkan saja kepada mekanisme pasar. Sebaiknya, pemerintah berfokus bekerja untuk memastikan kecukupan pasokan bagi konsumen. Tambahan penerimaan dari intensifikasi tarif ekspor CPO bisa dialokasikan untuk mendanai program bantuan langsung tunai bagi masyarakat yang daya belinya tergerus oleh lonjakan harga minyak goreng.
Kepongahan mempertahankan kebijakan HET minyak goreng curah tak hanya berpotensi merugikan konsumen, tapi juga negara, yang sia-sia menggelontorkan subsidi triliunan rupiah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo