Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Tak Ada Kompromi untuk Terawan

Pelanggaran etik yang dilakukan oleh dokter Terawan Agus Putranto sudah terang benderang. Ikatan Dokter Indonesia harus segera memberlakukan pemecatan Terawan.

2 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Disertasi Terawan Agus Putranto tentang metode cuci otak penuh kejanggalan.

  • IDI memecatnya secara permanen karena melanggar etik.

  • Pengobatan adalah soal metode ilmiah, bukan testimoni pejabat atau politikus.

DOKTER Terawan Agus Putranto adalah catatan kelam dunia kedokteran Indonesia. Bertahun-tahun ia mempraktikkan metode intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias “cuci otak” yang belum teruji secara klinis dan bisa membahayakan nyawa manusia. Namun Terawan tak pernah menjalani hukuman atas praktik lancung itu. Ia bahkan dipilih oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kesehatan, sebelum akhirnya lengser pada akhir 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maka keputusan Ikatan Dokter Indonesia(IDI) yang memberhentikan Terawan secara permanen dalam muktamar di Banda Aceh pada Jumat, 25 Maret lalu, sudah tepat. IDI tak perlu lagi menunda pemberlakuan sanksi terhadap bekas Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto itu seperti pada 2018. Apalagi Terawan telah memilih tak menggunakan ruang klarifikasi yang disediakan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran yang memutus perkara itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Disertasi Terawan yang diklaim sebagai bukti klinis terapi “cuci otak” nyata-nyata dipenuhi berbagai kejanggalan, bahkan kebohongan. Ia, misalnya, menyebutkan bahwa heparin—berfungsi untuk mengatasi dan mencegah penggumpalan darah—pernah diuji coba di Jerman untuk membuka sumbatan darah manusia. Padahal percobaan itu dilakukan bukan terhadap manusia, melainkan anjing. (Baca: Berbagai Kejanggalan Disertasi "Cuci Otak" Terawan)

Dengan modal disertasi ecek-ecek itu, Terawan dengan leluasa melanjutkan terapi “cuci otak”. Majalah ini juga ikut mempopulerkan terapi itu dalam sejumlah liputannya. Meskipun sejumlah pasien dan keluarganya menyatakan metode pengobatan itu tak berkhasiat atau memperburuk kondisi, praktik IAHF meluas ke tempat lain, seperti Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah. Beribu sayang, pemerintah dan Tentara Nasional Indonesia tak pernah menunjukkan niat melarang praktik tersebut.

Ketidaktegasan pemerintah pun kian terlihat dalam perkara vaksin Nusantara yang melabrak prosedur uji klinis. Meskipun Badan Pengawas Obat dan Makanan tidak meloloskan uji klinis tahap pertama metode pengobatan asal California, Amerika Serikat, itu, penelitiannya masih diperbolehkan berjalan. Sejumlah pejabat bahkan tanpa malu-malu mendukung pengobatan yang nihil bukti ilmiah itu dengan menerima injeksi “vaksin” tersebut. (Baca: Di Balik Kompromi Vaksin Nusantara dan Riset Gaib dari California)

Para pejabat dan tokoh politik bahkan melancarkan dukungan terhadap Terawan dan menutup mata terhadap berbagai pelanggaran prosedur medis. Mereka malah menyeret persoalan ini ke ranah politis dengan menyerang IDI tanpa memikirkan dampaknya bagi publik. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, yang seharusnya menjadi pemimpin terdepan dalam menjaga keselamatan publik, malah berkompromi dengan menyatakan akan memediasi IDI dan Terawan.

Ikatan Dokter Indonesia tak perlu lagi berkompromi terhadap pelanggaran etik Terawan yang sudah terang benderang. Ketidaktegasan IDI justru makin mempertaruhkan keselamatan publik. IDI, dan juga Majelis Etik, sebaiknya membuka semua pelanggaran tersebut kepada masyarakat. Demi rasa keadilan, Majelis Etik juga perlu menelusuri praktik serupa yang dijalankan dokter lain dan memberikan sanksi yang sama.

Jika sanksi tidak ditegakkan, Terawan Agus Putranto sangat mungkin menjelma seperti Frankenstein, tokoh protagonis ciptaan novelis Inggris, Mary Wollstonecraft Shelley. Melanggar prosedur medis, dokter Frankenstein menciptakan manusia baru dari potongan-potongan mayat, yang akhirnya menimbulkan kekacauan besar dan membunuh manusia lain. Menjadi tugas Ikatan Dokter Indonesia untuk memastikan tak ada Frankenstein yang membahayakan keselamatan publik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus