Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Main Aman Perkara Ukraina

Tak mengecam invasi Rusia ke Ukraina, Indonesia dapat kehilangan respek dunia internasional. Mengkhianati Pembukaan Undang-Undang Dasar.

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Indonesia tak bersikap tegas terhadap invasi Rusia ke Ukraina.

  • Liputan Tempo mengkonfirmasi sejumlah dugaan kejahatan perang dalam perang Rusia-Ukraina.

  • Seharusnya investasi Rusia di Indonesia tak dijadikan alasan bagi Indonesia untuk bungkam.

KEJAHATAN perang Rusia dalam serangan militer ke Ukraina semestinya membuka mata pemerintah Indonesia. Bersikap netral dan tidak mengutuk invasi Rusia merupakan sikap main aman yang akan membuat Indonesia kehilangan respek di mata dunia. Cara berdiplomasi seperti ini tak patut dilakukan Indonesia, negara yang konstitusinya tegas menjunjung hak asasi manusia dan menolak penjajahan di muka bumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agresi militer—apalagi mengakibatkan tewasnya ribuan penduduk sipil—merupakan tindakan keji. Patut disayangkan, dalam pelbagai kesempatan, termasuk di media sosial, Presiden Joko Widodo tidak mengecam invasi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari 2022, ribuan orang tewas, puluhan ribu lainnya luka, dan jutaan orang mengungsi. Menurut Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia, sedikitnya 1.892 penduduk sipil tewas. Ada yang terkena rudal, peluru artileri, dan tembakan dari jarak dekat. Di Kota Bucha, di pinggiran Ibu Kota Kyiv, ditemukan sejumlah kuburan massal. Mayat-mayat warga lokal tergeletak di jalan, bahkan ada yang dalam kondisi terikat. PBB tengah menyelidiki kejahatan tersebut.

Liputan majalah ini di Ukraina mengkonfirmasi temuan kuburan massal tersebut. Penggalian kuburan di halaman belakang Gereja St. Andrew dan Pyervozvannoho All Saints memastikan adanya mayat dengan luka tembak di kepala dan badan. Seorang warga Bucha mengaku melihat tentara Rusia memberondong penduduk sipil yang tengah mengendarai mobil. Ada juga warga yang disekap dan dijarah hartanya. Tentara Rusia diduga juga menyekap, memerkosa, dan menyiksa penduduk sipil hingga tewas.

Serangan tentara Rusia terhadap fasilitas dan bangunan publik merupakan kejahatan perang yang melanggar Konvensi Jenewa 1949. Sebagai anggota tidak tetap Dewan HAM PBB, Indonesia semestinya aktif mendorong penyelidikan kejahatan tersebut.

Terhadap Ukraina, Indonesia memiliki tanggung jawab moral. Ketika Indonesia mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, Ukraina merupakan negara pertama yang menyatakan dukungan di PBB. Ketika itu, 21 Januari 1946, utusan Republik Sosialis Soviet Ukraina mendesak Dewan Keamanan PBB melakukan penyelidikan terhadap agresi militer Belanda di Indonesia.

Menjadikan investasi Rusia di Indonesia sebagai alasan keengganan pemerintah Jokowi mengutuk agresi itu jelas tidak bisa dibenarkan. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal, nilai investasi Rusia di Indonesia 2014-2021 sebesar US$ 65,9 juta atau sekitar Rp 942 miliar. Rusia tahun lalu hanya menyumbang 0,1 persen dari keseluruhan investasi. Saat ini Rusia memang tengah menggarap proyek kilang minyak grass root refinery di Tuban, Jawa Timur, bernilai Rp 168 triliun. Proyek ini merupakan kerja sama Pertamina dengan perusahaan Rusia, Rosneft.

Peran ekonomi sebuah negara bagi Indonesia hendaknya tidak dijadikan alasan untuk bersikap permisif terhadap sebuah agresi militer. Pemerintah Jokowi hendaknya tak lupa: Indonesia pernah dengan tegas mengutuk agresi Amerika Serikat ke Irak pada Maret 2003, betapapun Amerika merupakan mitra strategis di bidang ekonomi.

Adanya sebagian masyarakat Indonesia yang bersimpati kepada Rusia dan membenarkan serangan itu hendaknya tidak pula dijadikan alasan. Kajian Evello—platform pemantau percakapan digital—pada 23 Februari hingga 14 Maret 2022 mengkonfirmasi kecenderungan itu.

Menurut lembaga itu, simpati publik Indonesia kepada Rusia karena dua alasan. Pertama, publik menyukai negara yang berseberangan posisi dengan Amerika Serikat, termasuk Rusia. Kedua, Presiden Rusia Vladimir Putin dianggap sebagai pemimpin populis, tegas meski otoriter—populisme otoritarian, yang kini tengah menggejala di pelbagai belahan bumi. Patut disayangkan jika sikap lunak pemerintah itu dipicu oleh sentimen positif sebagian publik Indonesia terhadap Rusia dan Presiden Putin.

Presiden Jokowi hendaknya menyadari: Indonesia memiliki sejumlah masalah—dari Papua hingga Laut Natuna Utara—yang penyelesaiannya tak dapat dilepaskan dari konstelasi politik global. Bersikap pragmatis dan main aman dalam invasi Rusia ke Ukraina akan membuat Indonesia dicibir ketika kepentingannya dibahas di forum dunia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus