Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana pemekaran wilayah di Papua harus dibatalkan.
Pemecahan wilayah tak mampu menyejahterakan rakyat Papua dan memperpanjang rantai konflik.
Orang asli Papua makin terpinggirkan dengan adanya pemekaran wilayah.
PEMEKARAN Papua bak salah obat dalam menyelesaikan berbagai masalah di wilayah itu. Tanpa melibatkan partisipasi rakyat setempat, rencana itu hanya akan menambah persoalan dan terus memantik konflik. Pemerintah pusat selayaknya membatalkan rencana itu dan menggunakan pendekatan kemanusiaan untuk membawa perdamaian di wilayah ujung timur Indonesia tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penambahan provinsi di Papua—Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah—tertuang dalam tiga rancangan undang-undang pembentukan daerah baru yang disebutkan sebagai hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 12 April lalu. Nantinya pemerintah juga akan menambah lagi dua provinsi baru. Semuanya diberi nama tujuh wilayah adat Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemekaran wilayah, yang selalu berbiaya tinggi, tak memiliki urgensi apa pun. Apalagi hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri menunjukkan 80 persen dari 223 daerah otonom baru yang dibentuk sejak 1999 hingga 2014—sebelum pemberlakuan moratorium pemekaran wilayah—gagal berkembang. Papua Barat yang menjadi provinsi pada 1999 pun tak bisa beranjak dari daftar terbawah wilayah termiskin di Indonesia.
Pemecahan wilayah administrasi lazimnya hanya menjadi obyek bancakan elite lokal untuk mendapatkan dana fiskal dari pemerintah pusat. Di banyak daerah, langkah itu dilakukan untuk menyediakan tempat yang lebih banyak buat berbagi kekuasaan. Dengan kondisi itu, klaim Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahwa pemecahan wilayah bertujuan mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan di Papua jauh panggang dari api. Tito memberikan obat yang seolah-olah bakal menyembuhkan, tapi sebenarnya memperparah berbagai masalah di Papua.
Pemerintah pusat bahkan mengabaikan kehendak orang asli Papua yang menolak pembelahan wilayah. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, pemekaran di Bumi Cenderawasih hanya bisa dilakukan dengan persetujuan Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua. Namun pemerintah dan DPR memangkas kewenangan tersebut pada pertengahan tahun lalu. Mereka pun menutup mata dan telinga atas meluasnya demonstrasi menolak pemekaran wilayah di sana.
Orang asli Papua jelas paling dirugikan dari pemecahan wilayah. Secara administratif, suku-suku lokal akan lebih dikotak-kotakkan. Besar kemungkinan mereka juga terpinggirkan dalam pengisian jabatan birokrasi. Pemekaran wilayah pun membuka peluang bertambahnya personel militer dan operasinya dengan alasan mendukung pemerintah lokal. Kehadiran tentara akan terus memutar rantai konflik dan mempertebal daftar pelanggaran hak asasi manusia.
(Baca Opini Tempo: Pendekatan Baru Menyelesaikan Konflik di Papua)
Berbagai persoalan di Papua jelas tak akan bisa diselesaikan dengan penambahan wilayah administrasi, melainkan melalui pendekatan kemanusiaan dan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di sana. Caranya, berdialog langsung dengan rakyat Papua dan menyusun peta jalan perdamaian. Jika pemerintah menutup pintu dialog, yang sebenarnya juga belum pernah dibuka, niscaya bara kekerasan terus membara di Papua.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo