Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hanya segelintir investor paham risiko perdagangan kripto.
Tanpa jaminan aset yang fundamental, investasi kripto bisa meledak setiap saat.
Izin bagi perusahaan penjualan kripto tidak disertai pengawasan.
APA yang terjadi dengan jebloknya nilai mata uang kripto meruntuhkan pelbagai teori yang menyebutkan aset virtual ini kebal terhadap sentimen makroekonomi global. Alih-alih bisa bertahan di tengah badai inflasi dunia, mata uang kripto justru salah satu yang terpukul lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanda-tanda susutnya aset kripto sudah terlihat sejak awal Mei lalu dan nilainya makin terperosok satu bulan kemudian. Tak tanggung-tanggung, valuasi mata uang kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan Terra Luna ambruk sampai 80 persen. Situasi bisa bertambah runyam karena nilai mata uang kripto berpotensi turun lebih dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, mata uang virtual ini merupakan instrumen investasi berisiko tinggi. Hukum besi investasi berlaku di sini: makin tinggi potensi keuntungan yang dijanjikan, makin besar pula risiko kerugiannya. Tanpa jaminan aset yang fundamental, investasi kripto bisa menjadi bom waktu yang suatu saat meledak.
Namun para trader kripto seakan-akan tak peduli. Jumlah pengguna yang terlibat jual-beli kripto hingga Desember 2021 mencapai 11,2 juta, naik tiga kali lipat dari jumlah pelanggan pada awal tahun. Tak mengherankan bila total transaksi kripto di Indonesia sepanjang tahun lalu menembus Rp 859 triliun. Angka ini meroket dibandingkan dengan transaksi tahun sebelumnya yang mencapai Rp 64,9 triliun. Lonjakan jumlah transaksi itu sungguh mengkhawatirkan karena menciptakan gelembung risiko yang bisa pecah dan kempis setiap saat.
Apalagi banyak orang tertarik menanam duit dalam mata uang kripto hanya karena ikut-ikutan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh mengenai faktor-faktor yang bisa mempengaruhi naik-turunnya valuasi aset kripto, investor mudah terjebak. Bukannya meraup untung, mereka kini banyak yang gigit jari.
Pertumbuhan jual-beli kripto tak lepas dari keputusan The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, jorjoran mencetak uang. Banjir likuiditas ini yang mendorong harga aset, dari saham, obligasi, hingga mata uang kripto, beterbangan. Ketika inflasi di Amerika sudah sedemikian tinggi, mau tak mau The Fed mesti mengurangi pasokan dolar dan menaikkan suku bunga acuan. Berkurangnya likuiditas membuat penguatan aset menjadi terbatas.
Otoritas Jasa Keuangan sudah mewanti-wanti bank, perusahaan asuransi, dan lembaga pembiayaan untuk tidak memfasilitasi perdagangan aset kripto. Larangan ini berangkat dari kenyataan masih rendahnya literasi keuangan masyarakat, yakni sekitar 38 persen. Apalagi ada dugaan dana pembelian kripto berasal dari kredit perbankan. Gejala ini tidak boleh dibiarkan karena bisa mengerek nilai kredit macet di bank.
Masalahnya, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) gencar menerbitkan izin penyelenggaraan bursa kripto. Penerbitan lisensi bagi perusahaan penjualan kripto ini tidak disertai pengawasan dan pengaturan risiko keamanan buat nasabahnya. Bila ada masalah di kemudian hari, Bappebti cenderung lepas tangan.
Dualisme kebijakan antara OJK dan Bappebti harus diakhiri. Keduanya perlu merumuskan regulasi yang lebih ajek untuk melindungi dana publik. Investor juga mesti paham perdagangan kripto sangat fluktuatif dan segala risiko investasi mesti ditanggung sendiri.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo