Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Lingkaran Bahasa

“Nyiur di pantai melambai-lambai” lebih efektif dibanding “nyiur di pantai bergerak-gerak daunnya terkena angin”.

5 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Personifikasi adalah gaya bahasa pengumpamaan yang menyamakan benda mati dengan manusia.

  • Pengumpamaan ini tampaknya dibuat lantaran untuk memudahkan mencari kata yang mendekati kesesuaian sesuatu yang dimaksud.

  • Tujuannya untuk memudahkan komunikasi atau penyampaian berita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA mengenal personifikasi sebagai gaya bahasa pengumpamaan yang menyamakan benda mati dengan manusia. Pengumpamaan ini tampaknya dibuat untuk memudahkan mencari kata yang mendekati kesesuaian sesuatu. Misalnya kalimat “nyiur di pantai melambai-lambai”. “Melambai” adalah aktivitas yang lazim dilakukan manusia. Kata itu seharusnya memang hanya digunakan untuk menyatakan kegiatan manusia. Dalam kalimat tersebut, nyiur diumpamakan sebagai manusia, sementara daun-daun nyiur adalah tangannya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk membahasakan gejala yang terlihat pada benda mati, akhirnya dipakai kata yang biasa digunakan buat membahasakan aktivitas manusia tersebut. Tujuannya untuk memudahkan komunikasi atau penyampaian berita yang mediumnya jelas memakai bahasa. “Nyiur di pantai melambai-lambai” lebih efektif dibanding “nyiur di pantai bergerak-gerak daunnya terkena angin”.

Maka kita pun kemudian bisa membahasakan “rembulan menatap sendu sepasang kekasih itu”, “angin pantai mencium lembut keningnya”, “gempa bumi di kota A telah memakan korban sekian ribu jiwa”, atau “hutan telah menghidupi suku itu berabad-abad”.

Membaca contoh-contoh kalimat tersebut, selain demi keefektifan kalimat, ada beberapa motif penggunaan kata yang lazim digunakan untuk membahasakan aktivitas manusia (majas personifikasi). Pertama, ada suatu kondisi yang hanya bisa dibahasakan dengan kata yang lazim digunakan untuk manusia. Kedua, demi mencapai daya estetika. Dan, ketiga, demi mendapatkan pemaknaan lebih.

Gaya bahasa ini ternyata memiliki lawan atau kebalikannya. Selama ini kita kerap memakai kata yang biasa dan seharusnya hanya dipakai oleh binatang atau benda mati. Bahkan kita pun kerap menggunakan kata kerja yang berasal dari nama hewan, misalnya “mengular”, “menyemut”, “menggurita”, dan “membebek”, untuk membahasakan tingkah laku atau kondisi manusia yang mirip dengan kelakuan atau sifat binatang tersebut.

“Antreannya mengular” jelas lebih efektif dibanding “antreannya panjang dan akan memakan waktu lama jika harus ditunggu”. “Peziarah menyemut” lebih lugas dibanding “para peziarah datang berduyun-duyun, berjubel, berkerumun, dan sukar dihitung jumlahnya”. Demikian juga “ia membebek” yang lebih ringkas jika dibanding “ia mengikut saja pendapat orang tanpa berpikir”.

Kemudian ada lema “menyengat”, “membelit”, “menyosor”, “mengais”, dan “mencakar” yang biasanya digunakan untuk aktivitas lebah/tawon, ular, dan bebek tapi kemudian digunakan buat menyatakan aktivitas manusia. “Lantaran masih menyimpan dendam, kalimat-kalimatnya terdengar menyengat tanpa mempertimbangkan perasaan”.

“Menyengat” dalam kalimat itu bisa saja diganti dengan kata “menyakitkan”, tapi maknanya kemudian jelas berbeda. “Menyakitkan” terdengar lebih umum ketimbang “menyengat”, yang langsung mengingatkan pada sengatan lebah; menyakitkan dan membikin nyeri—bahkan kadang trauma. Kata-kata tentu saja bisa menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Untuk membahasakannya, beberapa orang memilih kata “menyengat” sebagai gaya bahasa.

“Keputusasaan telah membelit hingga akhirnya membuatnya memilih tindakan nekat”. Ular biasa membelit mangsanya hingga kehabisan napas. Dalam kalimat di depan, keputusasaan juga bisa menyerupai ular tatkala membelit mangsa; mengakibatkan sesak napas, kehilangan harapan, dan merasa tak bisa lepas lagi dari permasalahan. “Ia tidak malu meski harus mengais rezeki dari TPS (tempat pembuangan sampah) satu ke TPS lain”.

Ada yang diumpamakan dan diserupakan ayam dalam hal mencari rezeki. Kata “mengais” terasa tepat dipakai untuk mewakili kelompok ekonomi bawah yang memang harus bekerja ekstrakeras dalam hal penghidupan. Juga “para politikus Senayan saling cakar dan adu taring”, yang mengumpamakan mereka seperti hewan buas.

Manusia memang senang mengamati, baik terhadap benda di sekitar maupun diri sendiri. Baik benda mati maupun makhluk hidup memiliki lingkaran bahasa yang mengelilingi, yang kadang menjadi ciri khas dan hanya cocok dipakai untuk mengabarkan kondisi atau aktivitas mereka. Yang terjadi kemudian, manusia mencoba membuat lingkaran bahasa lebih dinamis sehingga tercipta gaya bahasa baru.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus