Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Maju-Mundur Perkara Azis Syamsuddin

Meski telah mengantongi bukti suap, KPK terus menggantung status hukum Azis Syamsuddin. Makin rawan lobi dan politisasi.

11 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mengapa KPK tak kunjung menuntaskan penyidikan kasus yang melibatkan Azis Syamsuddin?

  • Adakah tarik menarik kepentingan politik?

  • Sejauh mana bukti Azis Syamsuddin terlibat kasus korupsi?

TARIK-ulur pengusutan kasus suap yang melibatkan Azis Syamsuddin menunjukkan wajah Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak lagi independen dan politis. Meski telah memiliki bukti kuat keterlibatan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu, pimpinan KPK terus bermain dengan waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajar bila banyak orang bertanya-tanya: apakah KPK serius mengusut perkara yang melibatkan politikus seperti Azis? Bercokol di Senayan sejak 2009, Azis adalah elite Partai Golkar, bagian dari koalisi penyokong pemerintah Joko Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azis sudah beberapa kali disebut dalam kasus korupsi. Ia pun beberapa kali dimintai keterangan penyidik komisi antikorupsi. Pada 2013, misalnya, ia dipanggil dalam pemeriksaan perkara korupsi alat uji simulator surat izin mengemudi. Ia selalu bisa lolos. Namun kini ia berada di tubir perkara suap.

Ketika menelisik dugaan suap jual-beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada Mei lalu, tim penyidik KPK—yang anggotanya kini terancam dipecat karena dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan—menemukan jejak suap mengarah ke Azis. Semula, penyidik hanya menemukan aliran suap sekitar Rp 1,5 miliar dari Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial untuk penyidik KPK dari unsur kepolisian, Robin Pattuju. 

Dalam perkembangannya, KPK menemukan jejak komunikasi Azis dengan Syahrial dan Robin. Belakangan, Robin mengaku menerima suap sekitar Rp 11 miliar dari hasil memperdagangkan perkara. Sebanyak Rp 3 miliar uang haram itu berasal dari Azis. Politikus Golkar ini ditengarai menyuap Robin agar lolos dari pengusutan korupsi dana alokasi khusus untuk Kabupaten Lampung Tengah pada 2017.

Berbekal pengakuan Robin dan bukti transfer uang, KPK seharusnya tak kesulitan menyeret Azis ke meja hijau. Tapi tidak begitu jalan ceritanya. Meski Ketua KPK Firli Bahuri telah menyinggung peran Azis sejak Mei lalu, hingga kini status hukum politikus Golkar itu baru sebatas saksi. Gelar perkara terakhir yang dihadiri pimpinan KPK dan para jaksa menegaskan bahwa jarak Azis menuju status tersangka tinggal sejengkal. Tapi, hingga akhir pekan lalu, status hukumnya belum jelas.

Makin lama KPK menunda, orang akan makin mencurigai adanya lobi-lobi politik di balik tarik-ulur tersebut. Kecurigaan seperti itu beralasan. Dengan jejaring politiknya, Azis sudah pasti tak berdiam diri. Kuatnya cantolan politik sangat mungkin bakal kembali meloloskannya.

Di bawah kepemimpinan Komisaris Jenderal Firli Bahuri sejak 2019, KPK memiliki jejak kuat dalam memotong rantai perkara. Dalam kasus korupsi bantuan sosial yang telah menjebloskan Menteri Sosial Juliari P. Batubara ke penjara, KPK juga menghapus nama sejumlah politikus lain dari berkas dakwaan. Padahal penyidik menemukan jejak yang sangat jelas dalam penggarongan dana untuk masyarakat miskin itu.

KPK yang kini sudah berada di dalam rumpun eksekutif alias pemerintahan semestinya tak menunda pengusutan kasus ini. Jual-beli perkara yang melibatkan penyidik kepolisian di KPK dan pejabat negara seperti Wakil Ketua DPR jelas merupakan kejahatan besar. Karena itu, komisi antikorupsi semestinya menjadikannya perkara prioritas. 

Meski begitu, KPK tetap perlu menjadikan hukum sebagai satu-satunya dasar menentukan status hukum Azis. Meski disebut-sebut memiliki persoalan pribadi dengan sang politikus, Firli sepatutnya menyingkirkan perkara lama itu dari bahan pertimbangan. Sekadar informasi, sejumlah kabar menyebutkan Firli dan Azis pernah terlibat dalam sengketa lahan di Sumatera Selatan. Ketika itu, Firli adalah kepala kepolisian daerah di sana.

Menyedihkan bahwa KPK kini makin terpolitisasi sejak pemerintah Joko Widodo dan DPR sukses melemahkan lembaga antirasuah ini lewat revisi undang-undang pada akhir 2019. Kepentingan partai politik yang sedang berkuasa turut menentukan maju-mundur pengusutan kasus di KPK.

Gejala seperti ini sejatinya bukan khas di Indonesia saja. Di sejumlah negara yang angka korupsinya tinggi dan institusi antikorupsinya keropos, agenda pemberantasan korupsi lebih sering didorong oleh pertikaian dan ambisi kalangan elite politik ketimbang oleh cita-cita penegakan hukum. Akibatnya, praktik “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi pun menjadi hal lumrah.

Perseteruan para politikus atau pejabat yang mendorong pembongkaran kasus korupsi jelas bukan hal ideal yang layak mendapat tepuk tangan. Perang melawan korupsi seharusnya berpijak pada aturan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tapi, apa boleh buat, ketika kondisi KPK seperti saat ini, persaingan politik yang bisa menyingkap kasus korupsi masih lebih baik ketimbang persekongkolan yang menutupinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus