Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hakim mengabulkan gugatan pencemaran udara koalisi masyarakat.
Pemerintah pusat melawan putusan yang seharusnya jadi kewajiban mereka.
Hak menghirup udara bersih mesti melalui jalan berbelit lewat pengadilan.
UPAYA pemerintah pusat melawan putusan gugatan pencemaran udara Jakarta memperlihatkan tabiat buruk kekuasaan: arogan terhadap rakyatnya sendiri. Permohonan banding tersebut tidak hanya mengulur-ulur waktu untuk memenuhi hak masyarakat menghirup udara bersih, tapi juga mencerminkan sikap antikritik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pejabat dan kementerian yang digugat mengabaikan pokok masalah, yakni terancamnya kesehatan publik karena udara yang buruk. Alih-alih menjalankan putusan Pengadilan Negeri Jakarta, mereka malah berkutat pada argumentasi formal untuk membalas kekalahan. Semestinya pemerintah menganggap gugatan warga negara lewat mekanisme citizen lawsuit itu sebagai masukan untuk membenahi kualitas udara Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah bertahun-tahun Jakarta menjadi salah satu kota dengan tingkat polusi paling parah di dunia. Indeks kualitas udara Jakarta pada akhir September lalu, misalnya, sempat mencapai 152, yang berarti tidak sehat. Kandungan polutan udaranya bahkan lebih tinggi empat-lima kali lipat di atas acuan kualitas udara Badan Kesehatan Dunia (WHO). Polutan utamanya, PM2,5, yang ukurannya kurang dari 2,5 mikrometer, jika terhirup bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut hingga penyakit jantung koroner. Kualitas udara yang rendah tersebut, seperti ditunjukkan riset, bisa mengurangi umur orang Jakarta hingga 5,5 tahun.
Sumber polusi udara Jakarta bukan hanya dari emisi hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor di seluruh jalanan metropolitan. Penelitian organisasi Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), yang berbasis di Finlandia, pada 2020 menemukan bahwa sumber utamanya justru emisi dari pembangkit listrik bertenaga batu bara, pabrik, dan fasilitas industri lain di daerah sekitar Jakarta. Maka menekan polusi dari knalpot kendaraan saja tidak cukup untuk memperbaiki kualitas udara. Masih menurut riset CREA, pembangkit listrik batu bara yang berada dalam radius 100 kilometer dari Jakarta itu turut bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini di Jakarta dan sekitarnya.
Berbagai data tersebut seharusnya menyadarkan pemerintah untuk mengambil tindakan serius membenahi kualitas udara sebelum dampaknya kian buruk. Dengan segenap daya, pemerintah mesti mempercepat peralihan penggunaan energi fosil ke energi baru dan terbarukan. Bergantinya pemakaian energi kotor ke energi hijau ini akan mengurangi polusi udara secara signifikan di Jakarta dan di seantero Indonesia. Yang paling dekat, pemerintah semestinya segera menjalankan perintah pengadilan untuk mengetatkan aturan baku mutu udara ambiens nasional hingga mengawasi Gubernur DKI Jakarta dalam mengendalikan pencemaran udara.
Sungguh disayangkan pemerintah—Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Kesehatan yang menjadi tergugat—membuang momentum tersebut. Padahal ini bukan soal kalah dan menang di depan hukum.
Tanpa gugatan masyarakat itu pun sudah merupakan kewajiban pemerintah mengendalikan pencemaran udara untuk memenuhi hak masyarakat menghirup udara bersih. Di Indonesia, hak warga negara atas kualitas udara bersih itu masih harus diperjuangkan dengan susah payah dan belum tentu didapatkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo