Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pelajaran Sawit dari Sorong

Kebijakan Bupati Sorong mencabut izin usaha perkebunan kelapa sawit layak ditiru. Harus ada perlindungan terhadap masyarakat adat.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bupati Sorong mencabut konsei perkebunan kelapa sawit yang terbengkalai.

  • Keberanian dan ketegasan yang harus ditiru pemerintah daerah bahakn pemerintah pusat.

  • Saatnya membangun hutan bersama masyarakat adat untuk mencegah krisis iklim.

KEPUTUSAN Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya patut menjadi teladan. Tak banyak pemerintah daerah yang berani bersikap tegas seperti dia. Terlebih lagi, Bupati Johny berencana menyerahkan lahan eks konsesi sawit itu kepada pemilik hak ulayat sudah ada di sekitar konsesi, yakni masyarakat adat yang didominasi suku Moi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencabutan izin usaha perkebunan itu disahkan Bupati Johny Kamuru pada April lalu. Dasarnya adalah hasil evaluasi tim Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menunjukkan semua perusahaan yang mendapat izin sejak sebelum 2010 itu tak mampu memenuhi kewajiban menanam sawit dan membayar ganti rugi kepada masyarakat adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun kini tiga perusahaan melawan dan mengajukan gugatan, Bupati Sorong tak perlu khawatir. Jika mengikuti Undang-Undang Perkebunan, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura seharusnya menolak gugatan itu. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 itu sudah memberi rambu-rambu jelas: negara memang berhak mengambil alih lahan yang tidak ditanami 30 persen dari luasan selama tiga tahun atau 100 persen selama enam tahun. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang berlaku mulai November 2020, kesempatan menelantarkan konsesi itu bahkan berlaku dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah.

Setidaknya ada dua kerugian yang ditanggung Pemerintah Kabupaten Sorong dan masyarakat adat akibat kelakuan perusahaan yang lalai menjalankan kewajibannya. Pertama, pemerintah daerah tidak mendapatkan setoran pajak yang optimal dari perusahaan sawit. Kedua, masyarakat adat juga tak bisa mendapatkan hak yang sudah mereka perjuangkan selama lebih dari satu dekade.

Bupati Johny tentu tak boleh berhenti di sini. Dia harus segera mendata semua tanah ulayat yang akan diserahkan kepada masyarakat adat. Pendataan ini penting untuk mencegah konflik lanjutan akibat pembagian lahan. Bupati juga perlu segera mengesahkan suku Moi sebagai masyarakat adat agar bisa diakui negara dan mendapatkan hak-haknya. Bupati Johny mesti segera mengajak DPRD Sorong membuat peraturan daerah yang mengakui wilayah dan komunitas adat agar penyerahan lahan konsesi memiliki dasar hukum kuat.

Kebijakan progresif Bupati Sorong sudah seharusnya menjadi inspirasi pemerintah daerah lain. Salah satu kunci keberhasilan Johny adalah adanya dukungan kebijakan dari Pemerintah Provinsi Papua Barat. Setelah meluncurkan Deklarasi Manokwari pada Oktober 2018 yang menetapkan Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai provinsi konservasi, Gubernur Papua Barat menggelar evaluasi menyeluruh yang menjadi dasar untuk mencabut atau meneruskan izin perusahaan sawit.

Presiden Joko Widodo juga tak perlu segan belajar dari Papua. Jokowi bisa memulai evaluasi serupa di level nasional sebagai dasar perpanjangan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit. Selain bisa mengidentifikasi penerimaan pajak baru, dengan evaluasi ini Presiden bisa memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang kerap menimbulkan konflik sosial. Data Konsorsium Pembaruan Agraria pada 2018 menunjukkan, 83 dari 410 konflik agraria terjadi di perkebunan sawit.

Ketegasan semacam ini penting untuk menunjukkan komitmen pemerintah pada kelestarian alam. Kita tahu tata kelola sawit kacau balau. Data perkebunan kelapa sawit masih beda-beda antar instansi pemerintah. Belum lagi 3,1 juta hektare sawit di kawasan hutan sehingga sawit sellau dituding sebagai komoditas penyebab deforestasi.

Dengan mencabut izin perusahaan sawit yang tak memanfaatkan lahannya, pemerintah bisa mencegah deforestasi yang terus meluas dan menurunkan emisi karbon. Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, pada November mendatang harus menjadi momentum untuk menegaskan komitmen Indonesia mencegah krisis iklim yang terjadi secara global ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus