Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Manuver “Jokowi 3 periode” ibarat bakteri berbahaya yang menginfeksi demokrasi.
Mobilisasi “kebulatan tekad” mengingatkan kita pada kebiasaan pemerintah Orde Baru.
Jokowi seharusnya menunjukkan penghormatan yang tulus kepada konstitusi dengan menolak ide perpanjangan masa jabatan.
MARAK sebentar lalu kempis akibat penyangkalan sejumlah pengurus, kebulatan tekad “Jokowi 3 periode” dalam pertemuan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) merupakan kisah konyol dari politikus yang maruk kekuasaan. Presiden Joko Widodo, yang menjadi tokoh sentral dari dagelan tidak lucu itu, mesti menyurukkan wajah ke bantal tersebab diterpa malu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deklarasi itu jelas bukan gerakan spontan masyarakat bawah. Diselenggarakan di Jakarta, akhir Maret lalu, sebagian pengurus Apdesi mengaku klaim sepihak itu dimotori Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sejumlah politikus dan orang dekat Jokowi juga bergerak untuk mengegolkan rencana jahat tiga periode tersebut. Satu di antaranya mantan wartawan yang menjadi anggota staf khusus Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mobilisasi “kebulatan tekad” mengingatkan kita pada pemerintah Orde Baru. Di era Soeharto, pemerintah memanipulasi opini publik dengan merekayasa dukungan masyarakat, terutama menjelang pemilihan umum. Hasilnya, Soeharto berkuasa 32 tahun sampai akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi. Sebagai pemimpin yang terpilih secara demokratis, Jokowi seharusnya tidak mengulang kekeliruan yang sama.
Usul “Jokowi 3 periode” adalah sekuel mundur dari gagasan penundaan Pemilihan Umum 2024 yang digaungkan pemimpin partai politik pendukung pemerintah. Pengusungnya mengajukan dalil sesat: demi kelangsungan pembangunan dan pemulihan ekonomi setelah era pandemi, masa jabatan Jokowi harus diperpanjang. Selain mengada-ada, dalih ini jelas menghina intelektualitas orang ramai.
Tak ada yang dapat menjamin kualitas pemimpin pasca-Jokowi. Tapi, lewat pemilu yang reguler dan pembatasan masa jabatan presiden, demokrasi memastikan terjadi sirkulasi kekuasaan dan rakyat terhindar dari pemimpin dengan kekuasaan absolut dan korup.
Gagasan “Jokowi 3 periode” jelas mengangkangi konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 membatasi masa jabatan presiden paling lama dua periode. Memang, dengan koalisi mayoritas pendukung pemerintah di Majelis Permusyawaratan Rakyat, amendemen konstitusi untuk menambah masa jabatan presiden tidak mustahil terjadi. Namun, jika itu dilakukan, amendemen tersebut tidak sah karena melanggar esensi konstitusionalisme yang mengharuskan adanya pembatasan kekuasaan eksekutif.
Kampanye “Jokowi 3 periode” juga membunyikan alarm bahwa demokrasi di negeri ini tengah menghadapi ancaman serius. Apa yang terjadi menjelang akhir periode kedua Jokowi ini kian menegaskan berseminya benih otoritarianisme. Selain menunjukkan lemahnya komitmen dalam menjaga konstitusi, rezim saat ini makin tidak toleran terhadap oposisi serta gandrung membatasi kebebasan masyarakat sipil.
Celakanya, masyarakat bisa lengah ketika demokrasi tergerus lewat cara-cara yang halus, bukan lewat peristiwa dramatis seperti kudeta militer. Itulah yang pernah terjadi di Venezuela, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Turki, dan Ukraina. Sang pencabut nyawa demokrasi di sana adalah pemimpin populis yang memenangi pemilu. Setelah terpilih, pelan tapi pasti, mereka membajak pranata demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan.
Bila tak mau tercatat sebagai pembajak demokrasi, Jokowi seharusnya memberikan penghormatan kepada konstitusi. Dialah yang semestinya paling tegas menolak usul perpanjangan masa jabatan presiden—betapa pun hal itu bakal menguntungkan diri dan kroninya.
Pernyataan Jokowi bahwa ia menghormati dan mematuhi konstitusi harus dibaca sebagai politik dua wajah: ia ingin memberi kesan bahwa gagasan itu bukan datang dari dirinya. Jokowi hendaknya melengkapi statemen itu dengan menjawab pertanyaan: apakah ia menghormati konstitusi yang mengatur masa jabatan presiden atau justru ia kelak berhikmat pada konstitusi hasil amendemen yang melanggar asas pembatasan kekuasaan?
Pernyataannya bahwa usul perpanjangan jabatan presiden merupakan hak masyarakat dalam demokrasi jelas salah kaprah. Jikapun mayoritas masyarakat mendukung agenda “Jokowi 3 periode”, ia harus menolaknya. Di lapangan, sejumlah survei menunjukkan publik menghendaki masa jabatan presiden dibatasi dua periode saja.
Demi masa depan demokrasi, Jokowi harus berhenti main api. Ia harus menolak tegas usul penambahan masa jabatan presiden. Lebih jauh, ia harus membuang jauh-jauh pikiran untuk tetap menjadi presiden setelah 2024—setitik niat yang dapat membuatnya malu dan terhina.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo