Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepolisian Daerah Jambi harus mengusut tuntas kasus penjualan 30 anak perempuan berusia 13-16 tahun asal Jambi kepada seorang pelaku pedofilia di Jakarta.
Indonesia dinilai belum memenuhi standar minimum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Penegak hukum harus memprioritaskan penyidikan dan penuntutan atas pelaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
KABAR getir itu merebak pada pengujung tahun lalu. Sebanyak 30 anak perempuan berusia 13-16 tahun asal Kota Jambi dijual kepada seorang pengusaha hiburan malam di Jakarta yang diduga pelaku pedofilia. Kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini tidak hanya di tempat asal korban, tapi juga di tempat tujuan perdagangan anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Resor Kota Jambi mengungkap komplotan perdagangan anak untuk seks pada 27 Desember 2021. Empat orang menjadi tersangka, yakni Sudin, 52 tahun, yang meminta Rizqi (36), Putri (19), dan ARS (15) mencarikan anak perempuan calon korban. Pada suatu waktu, misalnya, Putri dan ARS masing-masing menyerahkan dua korban kepada Sudin di sebuah hotel di Jakarta Utara, dengan bayaran Rp 3,5 juta per orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkara ini seharusnya menjadi momentum bagi kepolisian untuk membuktikan bahwa mereka serius menangani kejahatan seksual dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Selama ini, polisi terkesan enggan mengusut kasus kejahatan seksual dan TPPO ketika yang menjadi korban adalah anak dari kalangan masyarakat biasa. Akibatnya, keluarga korban kadang jeri melapor atau meminta bantuan polisi. Di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, keluarga korban menangkap sendiri pelaku kekerasan seksual terhadap anak karena laporan mereka ke polisi tidak ditanggapi dengan serius.
Anehnya, polisi kerap sangat bersemangat menyidik prostitusi yang melibatkan selebritas, meski harus berakrobat menjerat pelaku dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal, sepanjang berlangsung secara sukarela dan di tempat tertutup, prostitusi orang dewasa tidak dengan sendirinya merupakan kejahatan. Perbuatan kriminal baru terjadi ketika prostitusi melibatkan germo yang mengeksploitasi korban.
Wajar saja bila Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menilai Indonesia belum memenuhi standar minimum pemberantasan TPPO. Dokumen bertajuk 2021 Trafficking in Persons Report mencatat jumlah penyidikan kasus TPPO di Indonesia turun dalam empat tahun berturut-turut. Menurut laporan itu, Kepolisian RI menangkap 42 pelaku TPPO pada 2020, turun dari 132 pelaku pada 2019. Lalu, pada 2020, kepolisian hanya menyerahkan 8 berkas penyidikan ke kejaksaan, turun dari 26 berkas pada 2019.
Komitmen dan kesungguhan kepolisian sangat diperlukan karena tren kasus eksploitasi dan TPPO terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 2019, ada 111 laporan TPPO dan 106 kasus eksploitasi terhadap anak. Setahun kemudian, angkanya naik menjadi 213 laporan TPPO dan 133 kasus eksploitasi anak. Data terakhir, pada 2021, ada 256 laporan TPPO dan 165 kasus eksploitasi anak. Pandemi Covid-19 diduga meningkatkan jumlah kasus eksploitasi dan perdagangan anak karena adanya faktor kebutuhan ekonomi dan lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak.
Untuk memberantas kasus perdagangan anak, penegak hukum harus memprioritaskan penyidikan dan penuntutan bagi pelaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Pada saat yang sama, pemerintah harus membuat terobosan kebijakan, misalnya meningkatkan dukungan anggaran dan pengawasan, agar kepolisian daerah lebih trengginas dan profesional dalam menumpas jaringan perdagangan orang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo