Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung perlu mengusut kasus dugaan korupsi satelit Kementerian Pertahanan sampai ke pengambil keputusan.
Indonesia bisa terhindar dari denda pengadilan arbitrase jika terbukti ada korupsi dalam proyek satelit Kementerian Pertahanan.
Hingga kini slot Orbit 123 Bujur Timur tak kunjung terisi.
JALAN untuk menguak kebusukan proyek satelit Kementerian Pertahanan masih panjang. Kasus yang sedang diusut Kejaksaan Agung itu baru sampai lapis pertama, yaitu persangkaan kecurangan saat Kementerian Pertahanan menyewa satelit pengisi slot Orbit 123 Bujur Timur (BT). Masih ada level kedua yang belum tersentuh, yaitu penunjukan pihak swasta yang dianggap tak kompeten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membongkar peran PT Dini Nusa Kusuma, perusahaan yang terlibat dalam perkara ini, menjadi penting. Karena kegagalan mereka meluncurkan satelit tersebab kekurangan pendanaan, Indonesia terancam kehilangan hak kelola di orbit yang berada di ketinggian 36 ribu kilometer di atas Pulau Sulawesi tersebut. Walhasil, penyidik Kejaksaan Agung mesti gesit membongkar seluruh permainan gelap dalam proyek satelit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekacauan tata kelola pemerintahan ini bermula saat Garuda-1 keluar dari orbit akibat kebocoran bahan bakar pada 2015. Presiden Joko Widodo menginstruksikan penyelamatan slot yang strategis untuk komunikasi pertahanan dan monitoring bencana tersebut. Kementerian Pertahanan maju menggantikan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Meski ada tenggat tiga tahun dari International Telecommunication Union sebelum Indonesia kehilangan hak, Kementerian Pertahanan langsung mengontrak satelit sementara pengisi orbit milik Avianti Communication Limited, Inggris. Kontrak juga mereka lakukan dengan perusahaan operator satelit lain, yaitu Navayo, Airbus, Hogan Lovells, dan Telesat, lewat program Satelit Komunikasi Pertahanan. Semuanya berlangsung cepat dan tanpa akuntabilitas. Dananya pun belum dianggarkan.
Belakangan, Kementerian Keuangan menolak membiayai proyek yang diajukan sebesar Rp 10 triliun tersebut. Karena Indonesia gagal bayar, Avanti menggugat dan Pengadilan Arbitrase London mewajibkan Indonesia membayar Rp 515 miliar pada 2019. Pada Mei lalu, Pengadilan Arbitrase Singapura juga meminta Indonesia membayar ganti rugi US$ 20 juta atau setara dengan Rp 286,3 miliar kepada Navayo.
Lewat pengusutan kasus di Kejaksaan Agung, pemerintah boleh saja berharap terhindar dari pembayaran denda kepada Navayo. Undang-Undang Arbitrase menyatakan putusan dapat dikesampingkan atau dibatalkan jika ada tipu muslihat, termasuk pengaruh suap dalam pembuatan kontrak. Namun, untuk membuktikan adanya tindak korupsi, Kejaksaan Agung perlu mengusut tuntas kasus satelit bodong ini.
Untuk proyek bernilai triliunan rupiah dan kontrak dilakukan secepat kilat, jelas ada campur tangan petinggi di kementerian yang saat itu dipimpin Ryamizard Ryacudu tersebut. Karena Ryamizard menyatakan dia mendapat perintah presiden untuk menyelamatkan slot Orbit 123 BT, Presiden Joko Widodo juga perlu memberikan keterangan.
Sudahlah jatuh, tertimpa tangga. Meski telah kehilangan Rp 515 miliar plus ancaman denda dari perusahaan lain, pemerintah tak kunjung memiliki satelit pengganti Garuda-1 di Orbit 123 BT. Hingga kini slot tersebut masih kosong dan Indonesia terancam kehilangan hak di orbit di langit Sulawesi. Semua itu akibat buruknya tata kelola pemerintahan kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo