Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Polisi Tak Berseragam

Mengapa polisi tak berseragam disebut polisi berpakaian preman? Apakah ada pakaian untuk preman?

21 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mengapa polisi tak berseragam disebut polisi berpakaian preman

  • Dari mana asal kata preman?

  • Bagaimana pakaian preman terbentuk?

TAHUN 1912, dalam novel Pramoedya Ananta Toer Jejak Langkah, Jacques Pangemanann, komisaris polisi pertama dari kalangan pribumi, mendapat mandat dari Tuan Besar Gubernur Jenderal Hindia Belanda Idenburg. “Aku mendapat tugas berat, tugas yang sesuai dengan studi yang kulakukan: mengawasi kaum terpelajar Pribumi.” Pengawasan itu berkutat pada semua kegiatan para terpelajar pribumi—atau bukan terpelajar sekalipun sesungguhnya—yang tidak dikehendaki, yang menyimpang dari acuan yang telah ditentukan oleh politik etik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas, kemudian dia merancang beragam cara untuk itu. Rencana paling awal: dia mesti melepas seragamnya. Karena itu, suatu hari, “Aku berpakaian preman.… Aku berpakaian serba putih dengan topi dari anyaman bambu.” Saat dia melepas seragamnya, saat dia berpakaian preman, saat itulah dia sedang memata-matai. Memata-matai Minke. Karena itu, “Demi karierku,” ujar Pangemanann, “Minke, pimpinan Redaksi Medan, harus disingkirkan.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun sekitar 1912 adalah tahun kekacauan bagi penduduk koloni di Hindia Belanda. Hampir-hampir setiap hari berjalan tanpa ketenangan. Pribumi telah menemukan alat paling efektif untuk melampiaskan frustrasi dan ketidakberdayaan mereka: pembakaran ladang tebu. Saban hari beratus-ratus hektare ladang terbakar. Tuan-tuan pemilik kebun tebu yang sangat ketakutan itu kemudian tak bisa mengandalkan tenaga polisi pemerintah saja. Mereka terlalu sering mengecewakan dan kurang sigap bereaksi. Para pengusaha kemudian menyewa tenaga preman (jago) untuk mengamankan aset mereka.

Para jago ini biasanya direkrut dari desa-desa di sekitar kebun. Mereka fasih bertengkar. Bahkan beberapa dari mereka kebal senjata. Warga desa amat takut kepada mereka. Ini berbeda dengan polisi pemerintah rekrutan dari warga pribumi. Mereka termotivasi melamar menjadi polisi kolonial, menurut Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (2011), untuk mendapatkan seragam dan meningkatkan status sosial. Dengan demikian, pada saat itu terdapat dua jenis tenaga keamanan kolonial: polisi pemerintah dan para jago. Yang pertama berseragam, yang kedua tak berseragam. Boleh jadi Pangemanann yang berpakaian preman itu terinspirasi dari para jago tersebut.

Saya menduga istilah yang sering kita dengar sekarang ini, “polisi berpakaian preman”, bersumber dari sana. Namun tepatkah istilah itu? Istilah itu senyata-nyatanya membersitkan kekeliruan akut beristilah. Atau barangkali diskriminasi istilah.

Kita tidak akan tahu seorang polisi sedang “berseragam preman” andai ia tiba-tiba sudah menangkapi para demonstran. Dan, kita terkejut, mereka berpakaian seperti para demonstran yang tertangkap itu. Kaus oblong atau kemeja serta jeans yang mereka pakai tak ada ubahnya dengan pakaian kita yang bukan polisi, atau yang bukan preman. Lantas?

Kita, bangsa Indonesia, mungkin juga semua bangsa, belum bersepakat menentukan jenis pakaian khusus yang mesti dikenakan preman. Kita tidak lagi sedang dikuasai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kompeni sangat peduli terhadap pakaian. Mereka menciptakan peraturan dan menuntut setiap pribumi harus tetap mengenakan pakaian tradisional masing-masing. Dari pakaian yang khas akan memudahkan VOC terus mengawasi penduduk. Ketika suatu kejahatan terjadi, akan mudah menemukan si pelaku jika seseorang mengetahui pakaiannya dan dengan begitu mengetahui dari komunitas mana dia berasal.

Dan sepertinya tak perlulah kita bersepakat tentang itu. Kita tahu sejumlah pejabat yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa saat lalu mengenakan seragam sama dengan polisi “berseragam preman”. Kita juga tak boleh terus-menerus mengambinghitamkan para preman dengan istilah yang sangat diskriminatif itu. “Polisi tak berseragam” nyata-nyatanya lebih tepat dan bertanggung jawab.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus