Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali boleh-boleh saja memasang target Indonesia masuk peringkat 40 pada Olimpiade Tokyo 2020 yang tengah berlangsung saat ini. Tapi target 40 besar dari 197 negara peserta pesta olahraga dunia itu seharusnya berangkat dari pemetaan dan persiapan yang lebih matang. Bila tidak, target yang biasa-biasa saja pun akan menjadi tidak realistis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai akhir pekan lalu, ketika sebagian besar atlet Indonesia telah menyelesaikan laga masing-masing, perolehan medali mentok di urutan ke-53. Padahal Olimpiade Musim Panas ke-32 itu masih bergulir hingga 8 Agustus nanti. Prestasi yang ajek dan lumayan bagus hanya diraih cabang angkat besi. Adapun cabang bulu tangkis, yang langganan meraih medali emas, di Olimpiade Tokyo belum menunjukkan performa terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minim persiapan, keberanian Menteri Zainudin menargetkan kenaikan enam peringkat dari hasil Olimpiade Rio de Janeiro 2016 terbukti tak banyak artinya. Capaian Indonesia yang tidak lebih baik dari Olimpiade sebelumnya bukan kesalahan para atlet. Itu menunjukkan belum adanya kemajuan dalam pembinaan olahraga kita.
Akar permasalahan mudah dideteksi dari minimnya dukungan pemerintah atas pelbagai cabang olahraga nasional, termasuk yang berpeluang meraih medali di Olimpiade. Kementerian Olahraga mengakui dukungan dana negara masih minim bila dibandingkan dengan negeri tetangga. Thailand, misalnya, menyiapkan sekitar 0,2 persen dari anggaran belanja negaranya untuk olahraga. Sementara itu, Singapura mengalokasikan sekitar 4 persen dari anggaran negara. Adapun di Indonesia, dana untuk pengembangan olahraga hanya 0,03 persen, sekitar Rp 2 triliun, dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Keberpihakan pemerintah pun tak tampak dalam regulasi bidang olahraga. Kerap terjadi penggusuran ruang terbuka perkotaan atau lapangan olahraga demi kepentingan komersial dan infrastruktur ekonomi. Pembinaan olahraga sejak sekolah dasar tak pernah jelas juntrungannya. Di sekolah, olahraga hanya diajarkan dua jam per pekan. Itu pun tak semua sekolah punya sarana olahraga yang memadai.
Pengelolaan pelbagai organisasi olahraga pun masih jauh dari profesional. Hubungan antara pemerintah dan induk organisasi olahraga berjalan seperti patron dan klien. Organisasi induk olahraga banyak yang tidak dipimpin oleh ahlinya, mantan atlet atau teknokrat olahraga, tapi dirangkap oleh pejabat sipil atau militer. Alih-alih serius memupuk prestasi para atlet, organisasi seperti itu lebih sering menjadi panggung politik para ketuanya.
Kurang mendapat dukungan fasilitas dari negara, olahraga kini tidak lagi menjadi aktivitas sehari-hari sebagian besar masyarakat. Olahraga lebih sering menjadi hobi individu, bukan lagi kegiatan bersama untuk bersosialisasi atau bersenang-senang. Jarang kita jumpai lapangan bulu tangkis atau turnamen antarkampung yang dulu marak di desa dan di kota, seperti lirik lagu “Badminton” gubahan Mang Koko yang dipopulerkan Benyamin Sueb. Wajar saja bila dari waktu ke waktu Indonesia makin sulit mencari calon atlet berbakat, termasuk dari cabang bulu tangkis yang populer di masyarakat.
Tanpa upaya serius mengatasi pelbagai penyakit yang menggerogoti sistem pembinaan olahraga, kita tak bisa berharap besar terhadap capaian para atlet Indonesia di pentas olahraga dunia, termasuk Olimpiade Tokyo 2020. Keinginan Indonesia menjadi tuan rumah dan meraih peringkat 10 besar pada Olimpiade 2032 bisa menjadi angan-angan belaka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo