Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mendorong penggabungan unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara (Persero) atau BTN dengan Bank Muamalat berpotensi menimbulkan persoalan. Tanpa kajian matang, merger tersebut bisa merugikan karena beratnya beban keuangan yang sedang ditanggung Muamalat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana penggabungan Muamalat dengan unit usaha syariah BTN sudah masuk babak akhir. Aksi korporasi itu akan membuat Muamalat menjadi lebih besar karena mendapat limpahan aset unit syariah BTN. Setelah merger rampung, pemegang saham mayoritas Muamalat menjadi dua, yaitu Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan BTN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah mengklaim merger tersebut bisa melahirkan satu bank syariah dengan aset Rp 120 triliun. Angka itu berarti setara dengan nilai aset Bank UOB Indonesia pada 2022, yang merupakan bank terbesar ke-15 di Indonesia. Namun klaim tersebut tetap mengandung risiko kerugian yang besar mengingat rekam jejak Bank Muamalat selama ini.
Sepintas rencana merger bakal menguntungkan BTN. Apalagi dalam laporan keuangannya Muamalat mencatatkan aset Rp 66 triliun per September 2023. Angka pembiayaan bank tersebut juga tumbuh 22,4 persen menjadi Rp 21,7 triliun, kredit seretnya tinggal 0,43 persen, dan laba perseroan Rp 52,36 miliar.
Namun jangan lupa, Muamalat menyimpan aset bermasalah senilai Rp 10 triliun, yang sekarang dikelola PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero). Kebijakan mengeluarkan aset buruk tersebut yang membuat kinerja Muamalat positif. Hingga Desember 2023, aset bermasalah yang dapat dipulihkan baru 19 persen atau Rp 1,9 triliun.
Pemerintah semestinya menghitung bahaya “penyakit” kredit macet yang selama ini melilit Muamalat. Apalagi unit syariah BTN yang akan dimerger dengan Muamalat sudah memiliki aset senilai Rp 54,53 triliun hingga Desember 2023.
Otoritas Jasa Keuangan memang mengharuskan unit syariah BTN yang memiliki aset besar lepas dari induk usaha dan membentuk entitas baru. Namun keharusan itu tak otomatis bisa menjadi alasan memaksa aset negara yang bagus bergabung dengan bank yang sakit.
Kementerian BUMN sejatinya memiliki sejumlah opsi bagi unit syariah BTN untuk memenuhi ketentuan tersebut. Di antaranya melakukan spin-off dengan mendirikan bank syariah baru atau bergabung dengan PT Bank Syariah Indonesia, bank syariah terbesar milik negara yang terbentuk dari fusi tiga bank syariah BUMN pada 2021. Pilihan kedua jauh lebih realistis dan memiliki risiko rendah.
Mendorong merger merupakan salah satu cara anorganik memperbesar bisnis bank syariah yang masih kecil di Indonesia. Namun langkah tersebut hanya akan efektif untuk bank syariah kecil dan tidak memiliki persoalan keuangan berat, seperti yang dihadapi Muamalat. Keberadaan BPKH sebagai pemilik 77 persen saham Muamalat juga tidak bisa dipandang sebagai kesempatan pemerintah mendapatkan satu bank besar dengan modal minimum.
Sebab, BPKH memperoleh 77 persen saham Muamalat dari hibah pemegang saham lama. Hibah saham itu sebetulnya bukan pemberian yang bisa dibanggakan. Proses ini lebih mirip serah-terima perangkat rusak yang tidak boleh mati dari pemilik lama yang enggan mengurusnya ke lembaga pengelola dana haji yang beraset besar.
Selama BPKH menjadi pemegang saham mayoritas, kinerja bisnis Muamalat pun tidak otomatis kinclong. Terbukti, selama dua tahun, BPKH sudah menggelontorkan duit sebesar Rp 3 triliun untuk menggerakkan Muamalat.
Ketimbang BTN mengalami nasib nahas serupa, sudah sepatutnya pemerintah mengkaji ulang rencana merger. Jangan sampai lantaran sekadar mengharapkan peningkatan valuasi, aset besar unit syariah BTN lepas dari tangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Risiko Kawin Paksa Bank Syariah"