Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH serampangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) meloloskan partai politik yang lulus verifikasi faktual amat mengkhawatirkan. Selain kental mengakomodasi kepentingan partai politik yang sedang berkuasa, bukan tidak mungkin ada skenario busuk mengacaukan perhelatan demokrasi lima tahunan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPU mengumumkan 17 partai politik yang akan berlaga dalam Pemilu 2024 mendatang. Namun keputusan itu mengandung banyak kejanggalan. Salah satunya, terbongkar gerilya para pejabat KPU pusat mengintimidasi komisioner KPU daerah agar meloloskan beberapa partai dan menjegal partai tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada tiga hal yang bisa dibaca dari usaha ilegal para komisioner KPU itu. Pertama, ada kepentingan elite koalisi pemerintah menggembosi partai-partai yang berseberangan. Tiga partai yang diduga tak memenuhi syarat tapi diloloskan adalah Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).
Partai Gelora didirikan dua politikus eks Partai Keadilan Sejahtera, Anis Matta dan Fahri Hamzah. Jika bisa ikut Pemilu 2024, Gelora berpotensi menggerogoti konstituen PKS. PKN yang didirikan eks politikus Partai Demokrat, I Gede Suardika, berpotensi menggerus perolehan suara partai lamanya. PKS dan Demokrat tidak masuk koalisi pendukung Presiden Joko Widodo.
Adapun Partai Garuda, yang dipimpin pendukung Jokowi, getol menggugat aturan pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka, misalnya, menggugat aturan menteri harus mengundurkan diri jika menjadi bakal calon presiden. Atau gugatan aturan yang mewajibkan partai yang sudah punya kursi di Dewan Perwakilan Rakyat ikut verifikasi faktual lagi. Gugatan-gugatan aneh dari partai baru ini jelas menguntungkan partai lama dan menteri-menteri di kabinet Jokowi yang berhasrat menjadi calon presiden.
Sebaliknya, KPU tak meloloskan Partai Ummat yang didirikan mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amien Rais. Amien adalah pendiri Partai Amanat Nasional. Kebalikan dengan motif meloloskan partai tak lulus verifikasi, menjegal Partai Ummat akan menguntungkan suara PAN, yang belakangan bergabung dengan koalisi Jokowi dan mendapat kursi Menteri Perdagangan.
Kedua, menebalkan sinyalemen komisioner KPU titipan partai. Alih-alih menjadi wasit yang netral untuk menjaga kualitas pemilu, komisioner KPU bertindak melampaui kewenangan mereka. Para komisioner terkesan menjadi antek-antek politikus yang seharusnya mereka awasi. Penegak hukum harus memeriksa sinyalemen korupsi politik ini.
Ketiga, sebagai alasan penundaan pemilu. Terkuaknya kecurangan verifikasi partai politik menjadi alasan masuk akal bagi pemerintah atau DPR menunda pemilu yang otomatis memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi.
Mana pun motif dan skenario yang benar, KPU dan para politikus telah merusak demokrasi. Badan Pengawas Pemilu mesti menginvestigasi dugaan kecurangan ini lalu mengumumkan hasilnya ke publik. Bagi KPU, masih cukup waktu memverifikasi ulang partai-partai peserta pemilu secara jujur, adil, dan transparan.
Dalam demokrasi yang sehat, pemilu reguler menjadi syarat mutlak membatasi kekuasaan yang cenderung korup. Terlalu mahal harga memain-mainkan legitimasi pemilu seperti yang dilakukan KPU. Sejarah membuktikan, kegagalan pemilu demokratis di suatu negara diikuti konflik sosial yang tak berkesudahan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo